Kamis, 26 Januari 2012

TULANG RUSUK YANG HILANG... SEBUAH CERITA CINTA YANG MENGHARUKAN

Cerita ini saya posting untuk seorang teman yang sedang duduk termenung disana menyesali diri. Kehidupan cinta yang penuh dengan pertengkaran membuat teman saya ini merasa salah memilih calon pendamping hidupnya yaiu sang pacar yang sudah 4 tahun menemani hari-harinya.
cerita ini untuk kita semua yang sering kali membuat sedihati orang yang kita sayang
…..semoga kisah ini membuat perubahan akan perasaan pada sang kekasih….terima kasih untuk penulis cerita ini
Sebuah senja yang sempurna, sepotong donat, dan lagu cinta yang lembut. Adakah yang lebih indah dari itu, bagi sepasang manusia yang memadu kasih? Raka dan Dara duduk di punggung senja itu, berpotong percakapan lewat, beratus tawa timpas, lalu Dara pun memulai meminta kepastian. ya, tentang cinta.
Dara : Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?
Raka : Kamu dong?
Dara : Menurut kamu, aku ini siapa?
Raka : (Berpikir sejenak, lalu menatap Dara dengan pasti) Kamu tulang rusukku! Ada tertulis, Tuhan melihat bahwa Adam kesepian. Saat Adam tidur, Tuhan mengambil rusuk dari Adam dan menciptakan Hawa. Semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang dan saat menemukan wanita untuknya, tidak lagi merasakan sakit di hati.”
Setelah menikah, Dara dan Raka mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang kain mendera. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat mereka mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain.
Mereka mulai bertengkar dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas.
Pada suatu hari, pada akhir sebuah pertengkaran, Dara lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak, “Kamu nggak cinta lagi sama aku!”
Raka sangat membenci ketidakdewasaan Dara dan secara spontan balik berteriak, “Aku menyesal kita menikah! Kamu ternyata bukan tulang rusukku!”
Tiba-tiba Dara menjadi terdiam , berdiri terpaku untuk beberapa saat. Matanya basah. Ia menatap Raka, seakan tak percaya pada apa yang telah dia dengar.
Raka menyesal akan apa yang sudah dia ucapkan. Tetapi seperti air yang telah tertumpah, ucapan itu tidak mungkin untuk diambil kembali. Dengan berlinang air mata, Dara kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. “Kalau aku bukan tulang rusukmu, biarkan aku pergi. Biarkan kita berpisah dan mencari pasangan sejati masing-masing. ”
Lima tahun berlalu…..
Raka tidak menikah lagi, tetapi berusaha mencari tahu akan kehidupan Dara. Dara pernah ke luar negeri, menikah dengan orang asing, bercerai, dan kini kembali ke kota semula. Dan Raka yang tahu semua informasi tentang Dara, merasa kecewa, karena dia tak pernah diberi kesempatan untuk kembali, Dara tak menunggunya.
Dan di tengah malam yang sunyi, saat Raka meminum kopinya, ia merasakan ada yang sakit di dadanya. Tapi dia tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukan Dara.
Suatu hari, mereka akhirnya kembali bertemu. Di airport, di tempat ketika banyak terjadi pertemuan dan perpisahan, mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas, mata mereka tak saling mau lepas.
Raka : Apa kabar?
Dara : Baik… ngg.., apakah kamu sudah menemukan rusukmu yang hilang?
Raka : Belum.
Dara : Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikut.
Raka : Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telpon aku kalau kamu sempat. Kamu tahu nomor telepon kita, belum ada yang berubah. Tidak akan adayang berubah.
Dara tersenyum manis, lalu berlalu.
“Good bye….”
Seminggu kemudian, Raka mendengar bahwa Dara mengalami kecelakaan, mati. Malam itu, sekali lagi, Raka mereguk kopinya dan kembali merasakan sakit di dadanya. Akhirnya dia sadar bahwa sakit itu adalah karena Dara, tulang rusuknya sendiri, yang telah dengan bodohnya dia patahkan.
“Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal”

Antara Menjadi Pria Idaman dan Bukan Pria Idaman


Sifat- Sifat  Pria Idaman
  1. Kuat amalan agamanya. Menjaga solat fardhu, kerap berjemaah dan solat pada awal waktu. Auratnya juga sentiasa dipelihara dan memakai pakaian yang sopan. Sifat ini boleh dilihat terutama sewaktu bersukan.
  2. Akhlaknya baik, iaitu seorang yang nampak tegas, tetapi sebenarnya seorang yang lembut dan mudah bertolak ansur. Pertuturannya juga mesti sopan, melambangkan peribadi dan hatinya yang mulia.
  3. Tegas mempertahankan maruahnya. Tidak berkunjung ke tempat-tempat yang boleh menjatuhkan kredibilitinya.
  4. Amanah, tidak mengabaikan tugas yang diberikan dan tidak menyalahgunakan kuasa dan kedudukan.
  5. Tidak boros, tetapi tidak kedekut. Tahu membelanjakan wang dengan bijaksana.
  6. Menjaga mata dengan tidak melihat perempuan lain yang lalu lalang ketika sedang bercakap-cakap.
  7. Pergaulan yang terbatas, tidak mengamalkan cara hidup bebas walaupun dia tahu dirinya mampu berbuat demikian.
  8. Mempunyai rakan pergaulan yang baik. Rakan pergaulan seseorang itu biasanya sama.
  9. Bertanggungjawab. Lihatlah dia dengan keluarga dan ibu bapanya.
  10. Wajah yang tenang, tidak kira semasa bercakap atau membuat kerja atau masa kecemasan.

Sifat - sifat Bukan Pria Idaman

1. Akidahnya Amburadul. 
Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak maka dukun pun bertindak. jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. ingin buka usaha pun ia memakai pelarisan. jika berencana nikah, harus mengitung hari baik terlebih dahulu. yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah memercayai ramalan bintang agar semakin percaya diri dalam melangkah. 

Ibnu Qayyim mengatakan,"Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangungan dan pondasinya adalah iman." (Al-Fawaid)

2. Menyia-nyiakan sholat. 
Shalat berjamaah bagi seorang pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan berbagai hadits. 
Allah subhanahu wa ta'ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf (shalat dalam keadaan perang), 
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang sholat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belumsholat , sholatlah mereka denganmu." (Q.S An-Nisa' : 102)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah,seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu'walaihi wa sallam dan berkata,
"Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi mesjid." Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak sholat berjamaah dan agar diperbolehkan sholat dirumahnya. Kemudian RAsulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya,"Apakah kamu mendengar adzan?" Ia menjawab,"Ya". Rasulullah bersabda,"Penuhilah seruan (adzan) itu." (HR Muslim)

Orang buta ini tidak dibolehkan sholat dirumah apabila ia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri sholat berjamaah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum, dia berkata: 
"Wahai Rasulullah , di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu'alaihi wasallam bersabda,"Apakah kamu mendengar seruan adzan  hayya 'alash sholah, hayya 'alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut". (HR Abu Daud. yaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

3. Tidak dapat menjaga pandangannya
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat"." (QS An-Nur:30)

Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
"Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku." (HR Muslim no 5770)

4. Senang BerKhalwat
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 
"Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnta." (HR Bukhari no 5233)

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 
"Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karen asesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya." (HR Ahmad no 15734. syaikh Syu'aib Al Arbauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

5. Tangan Nakal
Yaitu tangan yang menyalami wanita yang tidak halal baginya. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.
Dari Abdulloh bin 'Amr, "Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat." (HR Ahmad dishohihkan oleh Syaikh Salim dalam al Manahi As-Syari'ah)

Dari maimah bintu Ruqoiqoh , dia berkata, "Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita , hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanitan seperti perkataanku untuk satu orang wanita." (HR Tirmidzi, Nasa'i, MAlik, dishohihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaliy)

Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
"Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi , tidak bisa tidak, zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah dengan mendengar. Zna lisan adalah dengan berbicara.  Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hatii adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian." HR Muslim no 6925)

6. Tanpa Arah yang Jelas
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
"Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (HR Muslim no.996)

Seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Ia harus memikirkan cara untuk dapat menafkahi istri dan anak-anaknya dikemudian hari dan sudah mempersiapkan segalanya. Dia pun harus mampu membimbing keluarganya dalam urusan agama karena hidup kita yang sesungguhnya adalah di akhirat kelak. 

60 Kriteria Pria Idaman menurut Islam


60 Kriteria Laki-laki Idaman (Ideal) menurut Islam adalah laki laki mukmin (beriman):


1) Islam menjadi pedoman hidupnya yang utama (QS.6:153);
2) Ikhlas menjadi dasar hidupnya (QS.2:207);
3) Taqwa menjadi bekal hidupnya (QS.2:197);
4) Taat menjadi karakteristik khasnya (QS.3.132);
5) Shalat dan sabar merupakan kekuatannya (QS.8:56;32:24);
6) Tsabat (teguh) merupakan sikap hidupnya (QS.8:45);
7) Ukhuwah Islamiyah menjadi pengikat hatinya (QS.49:10;43:67);
8) Tidak mengenal sikap palsu, kamuflase, banyak tingkah dan takabur (QS.25:63);
9) Ruang jiwanya dipenuhi oleh perhatian dan kepedulian yang besar dan penuh kesungguhan dalam mencapai hadaf (tujuan baik) mereka (QS.28:55);

10) Detik-detik malamnya amat berharga, diisi dengan ibadah Qiyamul Lail/Muraaqabatullah (QS.25:64 : 17:79. 76:26);

11) Senantiasa risau dan amat takut akan azab Neraka Jahanam (QS.25:65-66);
12) Punya ukuran-ukuran yang jelas atas kebenaran dalam kehidupannya (QS.25:67.17:29);
13) Tidak menyekutukan Allah, dan tidak menantang (menyalahi) perintah Allah (QS.25:68-71);
14) Tidak menyia-nyiakan hak orang lain dan tidak menzalimi seorangpun (QS.25:72);
15) Hatinya lurus dan hidup subur, dengan iman yang benar (QS.25:73);
16) Senantiasa menginginkan kebaikan yang dilakukan menjamah dan berlanjut untuk setiap generasi (QS.25:74-76);

17) Senantiasa Jujur dalam perkataan dan perbuatan;
18) Senantiasa menjaga tali silaturrahmi;
19) Senantiasa menjaga amanah yang diberikan;
20) Senantiasa menjaga hak tetangga;
21) Senantiasa memberi kepada yang membutuhkan;
22) Senantiasa membalas kebaikan orang lain;
23) Senantiasa memuliakan tamu;
24) Memiliki sifat malu;
25) Senantiasa menepati janji;
26) Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi);
27) Berakhlak baik/mulia kepada sesama makhluk Allah; (Matiinul khuluqi);
28) Senantiasa Shalat tepat pada waktunya;
29) Senantiasa memautkan hatinya ke masjid /Cinta Shalat berjamaah di Masjid;
30) Senantiasa membaca dan mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya;
31) Sederhana dalam urusan dunia dan paling cinta pada urusan akhirat;
32) Paling suka melakukan amar ma’ruf nahi munkar;
33) Paling berhati-hati dengan lidahnya (menjaga lidah);
34) Senantiasa cinta pada keluarganya;
35) Paling lambat marahnya;
36) Senantiasa memperbanyak istighfar, berdzikir dan mengingat Allah swt dan memperbanyak Shalawat Nabi;

37) Senantiasa suka dan ringan berzakat, infaq dan bersedekah;
38) Senantiasa menjaga wudhu;
39) Senantiasa menjaga Shalatnya terutama Shalat wajib;
40) Senantiasa menjaga Shalat sunnat Tahajjud dan Shalat Dhuha;
41) Paling cinta dan hormat pada kedua orang tuanya, terutama ibunya;
42) Cerdas / Pikirannya intelek (Mutsaqoful fikri);
43) Aqidahnya bersih/lurus (Saliimul ‘aqiidah);
44) Ibadahnya benar (Shohiihul ‘ibaadah);
45) Rendah hati (Tawadhu’);
46) Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi);
47) Mampu mencari nafkah (Qaadirun’alal kasbi);
48) Senantiasa menjaga dan memelihara lidah/lisan (Hifdzul lisaan);
49) Senantiasa istiqomah dalam kebenaran (Istiqoomatun filhaqqi);
50) Senantiasa menundukkan pandangan terhadap lawan jenis dan memelihara kehormatan (Goddhul bashor wahifdzul hurumat);

51) Senantiasa lemah lembut dan suka memaafkan kesalahan orang lain (Latiifun wahubbul’afwi);
52) Benar, jujur, berani dan tegas (Al-haq, Al-amanah-wasyaja’ah);
53) Selalu yakin dalam tindakan yang sesuai ajaran Islam (Mutayaqqinun fil’amal);
54) Senantiasa pandai memanfaatkan waktu (untuk dunia dan akhirat) (Hariisun’alal waqti);
55) Sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un lighoirihi);
56) Senantiasa menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun’anisy syubuhat);
57) Senantiasa berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’);
58) Senantiasa siap menolong orang yang lemah (Mutanaashirun lighoirihi);
59) Senantiasa berani bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi kita (Asysyidda’u’alal kuffar);

60) Senantiasa mengingat akan datangnya kematian;

Apakah anda atau suami atau (calon) suami/pasangan Anda telah memenuhi ciri-ciri pria idaman menurut Islam seperti di atas ?

Apabila sudah sebagian maka sempurnakanlah dan pertahankanlah, namun apabila belum senantiasa berusahalah untuk menyempurnakannya, karena memang Tidak ada insan yang sempurna, kecuali Rasulullah saw, tapi senantiasa berusahalah menjadi yang mendekati kriteria-kriteria tersebut.

Semoga kita semua dan anak keturunan kita senantiasa diberikan petunjuk dan bimbingan oleh Allah swt untuk bisa menjadi insan dan laki-laki yang baik menurut Islam dan bagi akhwat semoga diberi Allah swt atau bagi akhwat (perempuan) dapat diberikan Allah swt pasangan laki-laki mukmin yang baik menurut Islam seperti disebutkan di atas. Amiin


Rabu, 25 Januari 2012

10 KRITERIA WANITA IDAMAN DALAM AL-QURAN

10 KRITERIA WANITA IDAMAN DALAM AL QURAN


Ringkasan daripada tulisan H. Subhan Nur, Lc.




Allah s.w.t. berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 35,

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

(Qs. Al Ahzab: 35)

Wanita merupakan makhluk yang memiliki berbagai "kemudahan" yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki. Wanita lebih mudah dan lebih berpotensi menjadi ahli syurga, demikian pula wanita lebih mudah dan lebih berpotensi menjadi ahli neraka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah s.a.w. bahwa majoriti penghuni syurga adalah wanita, dan di kesempatan lain beliau menyatakan bahwa majoriti penghuni neraka adalah wanita.


Kata kunci status itu terletak pada keiffahan diri wanita dengan berbagai perspektif. Sabda pertama merupakan bentuk khabar gembir bagi wanita yang mampu menjaga keiffahan dirinya, dan sabda kedua merupakan peringatan bahwa wanita lebih berpotensi menjadi penghuni neraka jika tidak menjaga keiffahan dirinya.

Dalam ayat di atas terdapat 10 (sepuluh) karakter ideal wanita muslimah dalam upaya menyelamatkan diri dari kelompok majoriti di neraka.

Pertama: Al Muslimaat (Wanita Yang Patuh dan Tunduk Kepada Allah).

Allah s.w.t. menempatkan kriteria pertama wanita yang diidamkan oleh-Nya dan Rasul-Nya adalah muslimah iaitu wanita yang memiliki kepatuhan diri secara utuh kepada Allah s.w.t., dan berupaya keras (mujahadah) dalam mempertahankan keIslamannya.

Kedua : Al Mu`minaat (Wanita Yang Beriman).

Kalau kita ibaratkan iman dengan piring maka amal adalah isinya, dan piring akan disebut sesuai dengan isinya, jika piring itu diisi nasi maka disebut sepiring nasi, jika diisi dengan ubi maka disebut sepiring ubi, jika diisi dengan kacang maka disebut sepiring kacang, apapun bahan dasar piring tersebut dari kaca, keramik, atau kristal maka ia tetap disebut sesuai dengan isinya.

Oleh sebab itu, seorang wanita yang menjadi idaman Allah s.w.t. senantiasa mengutamakan isi daripada penampilan luar, dia selalu disibukkan melakukan amal kebaikan daripada mendandani diri dengan make up.

Ketiga: Al Qaanitaat (Wanita Ahli Ibadah).

Kata 'qaanitat' berasal dari kata 'qanata yaqnutu qunuutan' yang artinya taat. Sedangkan menurut imam Qusyairi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kata 'qunuut' Artinya 'thuulul 'ibadah' (lama beribadah). Sedangkan menurut imam Fakhrurrozi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata 'qunuut' artinya perpaduan antara keislaman dan keimanan yang menghasilkan rasa taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: As-Sadiqaat (Wanita Yang Jujur).

Iaitu wanita yang membiasakan kejujuran lisan, kejujuran hati, kejujuran tindakan dan kejujuran sikap sesuai dengan tuntutan Allah dan Rasul-Nya. Refleksi jujur harus disertai dengan sikap pembenaran terhadap perkataan yang dilontarkan atau perbuatan yang dilakukan, kerana perkataan yang tidak disertai pembenaran adalah kebohongan, dan perbuatan yang tidak disertai pembenaran adalah kekufuran.

Oleh sebab itu, wanita idaman Allah s.w.t. berupaya keras untuk tidak berkata dusta, berghibah, mencaci, memfitnah dan lainnya kerana sebuah itu adalah bentuk perkataan yang pasti tidak disertai pembenaran dari lubuk hati.

Kelima: Ash-Saabiraat (Wanita Yang Sabar Dan Pejuang).

Kesabaran terbagi menjadi 3 (tiga) hal: pertama, Kesabaran dalam menjalankan perintah Allah iaitu sabar dengan tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukan dan ketika mendapatkan rintangan, ujian, dan cubaan dalam menjalankan ajaran. Kedua, kesabaran dalam meninggalkan larangan Allah s.w.t. iaitu menahan diri berbuat dosa dan kejahatan meskipun sesuai dengan keinginan hawa nafsu tetapi bertentangan dengan keinginan Allah s.w.t. Ketiga, sabar dalam menghadapi ujian dan cubaan kehidupan. Namun inti dari kesabaran iaitu upaya mempertahankan keimanan agar tidak melemah akibat dosa dan tidak hilang akibat ujian.


Keenam: Al Khasyi’aat (Wanita Yang Khusyu’).

Khusyu' menurut bahasa bererti diam dan tenang. Dalam ibadah solat, khusyu' adalah kondisi jiwa yang diliputi takut jangan sampai solatnya tertolak. Dalam membaca Al Qur'an adalah keasyikan jiwa yang disertai penjiwaan terhadap kandungan ayat, sehingga ia terlelap dalam lantunan qira`ah dan tadabbur Al Qur'an serta merasakan desiran ombak yang menghujam ke jiwanya.

Ketujuh: Al-Mutasaddiqaat (Wanita Yang Gemar Bersedekah).

Bersedekah merupakan salah satu perhiasan rumah tangga yang dilestarikan dalam rumah tangga muslim, kerana sedekah akan menarik cinta Allah, cinta para malaikat dan cinta manusia. Rumah yang dihiasi sedekah senantiasa dipenuhi dengan naungan perlindungan Allah, keberkahan dari-Nya, dan menambah keharmonisan rumah tangga.

Kelapan : As-Saa`imaat (Wanita Yang Gemar Berpuasa).

Menurut Imam Baidhawi dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa wajib iaitu puasa di bulan Ramadhan. Alasannya, kerana pelaksanaan puasa sunat bagi wanita yang sudah berkahwin amat bergantung kepada izin suami sehingga konteks kata as-shaa`imaat disini adalah puasa wajib. Sedangkan menurut imam Fakhururrazi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata as-shaa`imaat merupakan isyarat bagi orang-orang yang syahwat perutnya tidak menghalangi mereka dari beribadah kepada Allah. Penekanan pada puasa wajib kerana kaum wanita seringkali mengabaikan qadha' puasanya hingga menunda sampai bulan Sya'ban padahal dia boleh melaksanakan qadha' puasa dengan segera, kerana tuntutan dalam pelaksanaan ibadah adalah segera.

Kesembilan: Al Hafizhaat (Wanita Yang Menjaga Kehormatan).

Kemampuan menjaga kehormatan diri dari perbuatan haram merupakan kurnia besar dan nikmat dari Dzat Yang Maha Mulia. Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang wanita diukur dari sejauh mana ia menjaga kehormatan dirinya melalui cara berbusana, cara bertutur kata, cara berjalan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Allah s.w.t. dan Rasul-Nya memberikan perintah khusus yang tidak dibebankan kaum laki-laki demi menjaga kemuliaan dan kehormatan wanita iaitu memakai jilbab, tidak keluar kecuali dengan mahramnya, tidak melembutkan ucapan kepada orang fasiq, dan tidak menghias diri seperti kaum jahiliyyah.

Kesepuluh: Adz-Dzaakiraat (Wanita Yang Banyak Berdzikir).

Dzikir termasuk ibadah yang termudah kerana tidak mengorbankan tenaga, waktu atau harta. Seorang muslim dapat berdzikir tiap waktu dan tiap tempat, bahkan wanita haidh dan nifas pun boleh melakukannya. Berdzikir adalah ibadah yang amat dicintai oleh Allah s.w.t. dan memberikan ganjaran berlipat ganda, Dia memberikan ganjaran yang tidak diberikan pada ibadah selainnya.

Penutup

Itulah 10 (sepuluh) kriteria yang menuntut kaum wanita dan para isteri untuk menjadi idaman Allah s.w.t. dan Rasul-Nya dengan menanamkan semua kriteria tersebut dalam wadah keimanan. Semua itu adalah perhiasan. Sesungguhnya bagi kaum wanita, perhiasan yang menjanjikan kecantikan lahir dan bathin dan kelak akan ditukarkan dengan perhiasan yang disiapkan Allah s.w.t. di syurga. Siapa yang tidak menggunakan perhiasan ini di dunia, dia tidak akan mengenakan perhiasan di syurga kelak. Jadilah wanita idaman Allah s.w.t dan Rasul-Nya.

PENDIDIKAN 3IDIOT

Bloggers, kali ini, mari kita bicara film. How about 3 Idiots? I bet all of you have heard about 3 Idiots before. Yap, 3 Idiots… film Hindi terbaru yang luar biasa. Bloody awesome! Campuran komedi dan drama cerdas yang sangat menghibur dan membekas. Setidaknya buat saya atau mungkin buat kamu juga? Hehehe.. :-D Owkay, sebenarnya banyak sekali hal yang bisa didiskusikan dari 3 Idiots. Dalam jangka waktu penayangannya yang kira-kira hamper 3 jam, 3 Idiots benar-benar sarat akan nilai positif selain tarian-tariannya yang memang merupakan ciri khas dari film-film Bollywood. Namun, kali ini mari kita sama-sama berkaca mengenai satu hal dari 3 Idiots, yakni tentang pendidikan. 
* * *
3 Idiots, bagi saya, sebenarnya tidak cocok mereka dinamakan demikian. Toh, mereka tidak benar-benar idiots. They called so, only because they dare to be different. Itulah hukum normal gak tertulis yang memang sering ada di dunia kita. Mereka-mereka yang out of the box dan gak sejalan dengan sistem yang telah diakui bertahun-tahun akan diberi gelar “si bodoh” dan akan dipinggirkan. Kalo dipikir-pikir, this is a kind of bullying too, right? :-(
Hmm, dari awal film, kita disuguhkan gambaran bagaimana sebenarnya pandangan kebanyakkan orang India dan mungkin juga sebagian dari kita, orang Indonesia, terhadap arti pendidikan. Chathur, seorang kawan lama dari 3 Idiots (Raju, Farhan, dan Rancho), menganggap bahwa pendidikan adalah sebuah alat yang semata-mata digunakan untuk menggapai kesuksesan, kekayaan, dan prestige juga untuk membalaskan dendamnya. Virus, direktur dari institut engineering terkemuka di India, tempat Raju, Farhan, dan Rancho menuntut ilmu juga “mendoktrin” murid-muridnya bahwa hidup itu adalah mengenai kompetisi: “Life is a race. If you don’t run fast someone will beat you and move faster than you”. Begitu pula dengan seorang professor di kelas Rancho. Ia sangat marah begitu mendapatkan penjelasan Rancho yang sangat gamblang, sederhana, juga dilengkapi contoh aplikatif mengenai definisi mesin. Profesor tersebut marah karena yang diiginkannya adalah definisi mesin sesuai dengan yang tertulis dalam textbook kuliah. Bahkan yang paling “ironis” adalah ketika para orang tua di India (is that true? Actually yang saya maksud adalah para orang tua India di film 3 Idiots) menentukan masa depan anaknya sejak mereka diketahui jenis kelaminnya. Menjadi engineer untuk anak laki-laki dan menjadi seorang dokter untuk anak perempuan.
Tentu saja akan menjadi hal yang menyenangkan jika keinginan orang tua tadi memang sejalan dengan impian anaknya. Namun, jika tidak? Hanya tekanan yang akan dirasakan dan pendidikan yang ditempuh pada akhirnya hanyalah sekedar alat untuk memenuhi tuntutan yang ada. Berlomba menjadi yang terdepan, berpeluh demi sesuatu hal yang tidak diresapi esensinya. It will left you nothing but pain, I think. And maybe the worst result of all this situation is dead. Lihatlah, Joy Lobo, seorang mahasiswa tingkat akhir di universitas yang sama dengan 3 Idiots. Joy, awalnya penuh semangat menyelesaikan proyek akhirnya dalam membuat sebuah helikopter mini yang dilengkapi wireless camera. Namun, semangatnya lantas terkubur bersama keinginannya untuk hidup (ya, ia mati gantung diri di kamarnya (tears) ) akibat Virus yang tidak mengizinkannya untuk menyelesaikan proyeknya dan menyebutnya sebagai “unrealistic project”.
Situasi-situasi yang kurang lebih sama mungkin sering kita jumpai di sekitar kita. Cita-cita orang tua yang menggebu pada akhirnya mendamparkan anaknya di dalam dunia yang salah. Si anak mungkin memang mengikuti keinginan orang tuanya, tapi hatinya tidak dan jadilah kita menjumpai banyak mesin dalam kehidupan sehari-hari kita. Atau, sistem pendidikan yang sangat ketat, sistem penilaian yang membebani, tugas-tugas yang tidak aplikatif, tuntutan-tuntutan untuk mempelajari definisi dan bukannya aplikasi, cibiran terhadap proyek-proyek yang dilabeli “unrealistic” padahal sebenarnya bisa jadi “realistic” jika ditambah poin kerja keras dan open-minded, cara belajar yang selalu mengkonsumsi doktrin dan pada akhirnya menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak mampu berpikir out of the box, prinsip hidup untuk mengejar kesuksesan dan bukannya kenikmatan di balik setiap proses yang dilalui. Ya, ya, ya… normal life, so normal… Itulah yang banyak kita temui di sekitar kita. Mau jujur mengakuinya atau tidak.
Tapi, di dalam film ini, Rancho, seorang pemuda biasa yang luar biasa berhasil memberikan pencerahan kepada beberapa orang di sekitarnya mengenai apa yang “salah” dari segala kenormalan hidup yang biasa kita jalani. Kata-katanya yang sangat saya sukai adalah ketika ia dipaksakan mengajar di sebuah kelas oleh Virus. Ia berkata seperti ini:
“Anybody thought that today we will get something to learn new?
Everyone’s sunk in race
What’s the use if you come first studying like this?
Will you improve your knowledge? NO
Only pressure will increase
And this is a COLLEGE NOT a PRESSURE COOKER
The lion in the circus also learns to sit on the chair fearing the whip held in his owner’s hand..
But we call such a lion as well trained, not WELL EDUCATED
Dan juga kata-katanya ketika ia mengomentari sistem penilaian (grading) di universitasnya:
“Sir, is it compulsory to sit according to our ranks?
It’s like the caste-system, sir! A grade students-kings, C grade students-slaves! It’s not nice sir!
Results should not be put up on a notice board. Why should we exhibit someone’s weakness in front of all?
The thing is, GRADES CREATE DIVIDE
Segala hal yang dipikirkan Rancho akan pendidikan ada benarnya. Para orang tua, para penyelenggara sistem pendidikan, sudahkah kita berpikir seperti Rancho? Mendukung apa yang menjadi talenta dari anak-anak kita dan bukannya memaksakan kehendak kita pada buah hati kita? Membuat sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan dan bukannya memicu tekanan/bullying terselubung? Jangan menutup mata, Indonesia. Sadar atau tidak disadari, sudah banyak korban dari sistem pendidikan yang seperti ini. Contoh nyata, saya mendapatkan cerita bahwa di sebuah fakultas Y di perguruan tinggi negeri X, hampir tiap tahun ada saja mahasiswa/i-nya yang “menghilang” baik secara resmi maupun tidak. Ada yang pernah saya dengar ceritanya, salah satu mahasiswa tersebut mengalami depresi jiwa yang cukup parah, karena beban kuliahnya yang cukup berat ditambah ia merasa tidak bisa bergabung dengan komunitas pergaulan di sekitarnya. Dan, masih banyak cerita lainnya yang mungkin tidak terekspos dan hanya disimpan rapat-rapat.
Mungkin, tempat pendidikan informal yang digagas Rancho di akhir cerita dapat dijadikan inspirasi bagaimana seharusnya sebuah pendidikan itu berbentuk dan membentuk seseorang menjadi semakin open-minded dan berdaya kreatifitas tinggi. Pendidikan yang berdasarkan passion. Pendidikan yang tidak mengacu pada definisi tetapi pada hal-hal yang aplikatif. Pendidikan yang dapat dilalui dengan menyenangkan, sama menyenangkannya seperti ketika kamu sedang memainkan game favorit kamu.
Di dunia yang penuh dengan formalitas dan kehendak akan standarisasi seperti saat ini, sepertinya sulit untuk mewujudkan pendidikan yang seperti itu. Hmm, bagaimana menurutmu?

فتاوى التكفير

فتاوى التكفير
مسألة التكفير
 قال فضيلة الشيخ العلامة الألباني رحمة الله في مسألة التكفير: إن مسألة التكفير عموماً – لا للحكام فقط؛ بل وللمحكومين أيضاً – هي فتنة عظيمة قديمة، تبنتها فرقة من الفرق الإسلامية القديمة، وهي المعروفة بـ (الخوارج) (2).
ومع الأسف الشديد فإن البعض من الدعاة أو المتحمسين قد يقع في الخروج عن الكتاب والسنة ولكن باسم الكتاب والسنة.
والسبب في هذا يعود إلى أمرين اثنين:
أحدهما هو: ضحالة العلم.
والأمر الآخر – وهو مهم جداً -: أنهم لم يتفقهوا بالقواعد الشرعية، والتي هي أساس الدعوة الإسلامية الصحيحة، التي يعد كل من خرج عنها من تلك الفرق المنحرفة عن الجماعة التي أثنى عليها رسول الله صلى الله عليه و سلم في غير ما حديث؛ بل والتي ذكرها ربنا عز وجل، وبين أن من خرج عنها يكون قد شاق الله ورسوله، وذلك في قوله عز وجل: } ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولّى ونصله جهنم وساءت مصيراً } (115 – النساء). فإن الله – لأمر واضح عند أهل العلم – لم يقتصر على قوله } ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى … نوله ما تولى … { وإنما أضاف إلى مشاقة الرسول اتباع غير سبيل المؤمنين، فقال: { ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولّى ونصله جهنم وساءت مصيراً } (115 – النساء).
فاتباع سبيل المؤمنين أو عدم اتباع سبيلهم أمر هام جداً إيجاباً وسلباً، فمن اتبع سبيل المؤمنين: فهو النّاجي عند رب العالمين، ومن خالف سبيل المؤمنين: فحسبه جهنم وبئس المصير.
من هنا ضلت طوائف كثيرة جداً – قديماً وحديثاً – ، لأنهم لم يكتفوا بعدم التزام سبيل المؤمنين حَسْبُ، ولكن ركبوا عقولهم، واتبعوا أهواءهم في تفسير الكتاب والسنة، ثم بنوا على ذلك نتائج خطيرة جداً، خرجوا بها عما كان عليه سلفنا الصالح رضوان الله تعالى عليهم جميعاً.
وهذه الفقرة من الآية الكريمة: } ويتبع غير سبيل المؤمنين } أكدها عليه الصلاة والسلام تأكيداً بالغاً في غير ما حديث نبوي صحيح.
وهذه الأحاديث – التي سأورد بعضاً منها – ليست مجهولة عند عامة المسلمين – فضلاً عن خاصتهم – لكن المجهول فيها هو أنها تدل على ضرورة التزام سبيل المؤمنين في فهم الكتاب والسنة ووجوب ذلك وتأكيده.
وهذه النقطة يسهو عنها – ويغفل عن ضرورتها ولزومها – كثير من الخاصة، فضلاً عن هؤلاء الذين عرفوا بـ (جماعة التكفير)، أو بعض أنواع الجماعات التي تنسب نفسها للجهاد وهي في حقيقتها من فلول التكفير.
فهؤلاء – وأولئك – قد يكونون في دواخل أ نفسهم صالحين ومخلصين، ولكن هذا وحده غير كاف ليكون صاحبه عند الله عز وجل من الناجين المفلحين.
إذ لابد للمسلم أن يجمع بين أمرين اثنين:
صدق الإخلاص في النية لله عز وجل.
وحسن الاتباع لما كان عليه النبي صلى الله عليه و سلم.
فلا يكفي – إذاً – أن يكون المسلم مخلصاً وجاداً فيما هو في صدده من العمل بالكتاب والسنة والدعوة إليهما؛ بل لا بد – بالإضافة إلى ذلك – من أن يكون منهجه منهجاً سوياً سليماً، وصحيحاً مستقيماً؛ ولا يتم ذلك على وجهه إلا باتباع ما كان عليه سلف الأمة الصالحون رضوان الله تعالى عليهم أجمعين.
فمن الأحاديث المعروفة الثابتة التي تؤصل ما ذكرت – وقد أشرت إليها آنفاً – حديث الفرق الثلاث والسبعين، ألا وهو قوله عليه الصلاة والسلام: [افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة ] قالوا: من هي يا رسول الله ؟ قال: ] الجماعة [، وفي رواية: ] ما أنا عليه وأصحابي [.
فنجد أن جواب النبي صلى الله عليه و سلم يلتقي تماماً مع الآية السابقة: } ويتبع غير سبيل المؤمنين {. فأول ما يدخل في عموم الآية هم أصحاب الرسول صلى الله عليه و سلم.
إذ يكتف الرسول صلى الله عليه و سلم في هذا الحديث بقوله: ] ما أنا عليه… [، - مع أن ذلك قد يكون كافياً في الواقع للمسلم الذي يفهم حقاً الكتاب والسنة -؛ ولكنه عليه الصلاة والسلام يطبق تطبيقاً عملياً قوله سبحانه وتعالى في حقه صلى الله عليه و سلم أنه: } بالمؤمنين رءوف رحيم { (128- التوبة).
فمن تمام رأفته وكمال رحمته بأصحابه وأتباعه ِأن أوضح لهم صلوات الله وسلامه عليه أن علامة الفرقة الناجية: أن يكون أبناؤها وأصحابها على ما كان عليه الرسول عليه الصلاة والسلام، وعلى ما كان عليه أصحابه من بعده.
وعليه فلا يجوز أن يقتصر المسلمون عامة والدعاة خاصة في فهم الكتاب والسنة على الوسائل المعروفة للفهم؛ كمعرفة اللغة العربية، والناسخ والمنسوخ، وغير ذلك؛ بل لا بد من أن يرجع قبل ذلك كله إلى ما كان عليه أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم؛ لأنهم – كما تبين من آثارهم ومن سيرتهم – أنهم كانوا أخلص لله عز وجل في العبادة، وأفقه منّا في الكتاب والسنة، إلى غير ذلك من الخصال الحميدة التي تخلّقوا بها، وتأدبوا بآدابها.
ويشبه هذا الحديث تماماً – من حيث ثمرته وفائدته – حديث الخلفاء الراشدين، المروي في السنن من حديث العرباض بن سارية رضي الله تعالى عنه، قال: وعظنا رسول الله صلى الله عليه و سلم موعظة وَجِلَت منها القلوب، وذرفت منها العيون، فقلنا: كأنها موعظة مُودّع فأوصنا يا رسول الله ! قال: ] أوصيكم بالسمع والطاعة، وإن ولي عليكم عبد حبشي، وإنه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنتي، وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي، عضوا عليها بالنواجذ… { وذكر الحديث.
والشاهد من هذا الحديث، هو معنى جوابه على السؤال السابق، إذ حض صلى الله عليه و سلم أمته في أشخاص أصحابه أن يتمسكوا بسنته، ثم لم يقتصر على ذلك بل قال: ] وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي [.
فلا بد لنا – والحالة هذه – من أن ندندن دائماً وأبداً حول هذا الأصل الأصيل؛ إذا أردنا أن نفهم عقيدتنا، وأن نفهم عبادتنا، وأن نفهم أخلاقنا وسلوكنا.
ولا محيد عن العودة إلى منهج سلفنا الصالح لفهم كل هذه القضايا الضرورية للمسلم، حتى يتحقق فيه – صدقاً – أنه من الفرقة الناجية.
ومن هنا ضلت طوائف قديمة وحديثة حين لم يتنبّهوا إلى مدلول الآية السابقة، وإلى مغزى حديث سنة الخلفاء الراشدين، وكذا حديث افتراق الأمة، فكان أمراً طبيعياً جداَ أن ينحرفوا كما انحرف من سبقهم عن كتاب الله، وسنة رسول صلى الله عليه و سلم، ومنهج السلف الصالح.
ومن هؤلاء المنحرفين: الخوارج قدماء ومحدثين.
فأن أصل فتنة التكفير في هذا الزمان، – بل منذ أزمان – هو آية يدندنون دائماً حولها؛ ألا وهي قوله تعالى: } ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون { (44- المائدة)، فيأخذونها من غير فهوم عميقة، ويوردونها بلا معرفة دقيقة.
ونحن نعلم أن هذه الآية الكريمة قد تكررت وجاءت خاتمتها بألفاظ ثلاثة، وهي: } فأولئك هم الكافرون {، } فأولئك هم الظالمون { [ 45- المائدة ]، } فأولئك هم الفاسقون { [ 47 – المائدة ].
فمن تمام جَهْل الذين يحتجون بهذه الآية باللفظ الأول منها فقط: } فأولئك هم الكافرون {: أنهم لم يُلِمّوا على الأقل ببعض النصوص الشريعة – قرآناً أم سنة – التي جاء فيها ذكر لفظة (الكفر)، فأخذوها – بغير نظر – على أنها تعني الخروج من الدين، وأنه لا فرق بين هذا الذي وقع في الكفر، وبين أولئك المشركين من اليهود والنصارى وأصحاب الملل الأخرى الخارجة عن ملة الإسلام.
بينما لفظة الكفر في لغة الكتاب والسنة لا تعني – دائماً – هذا الذي يدندنون حوله، ويسلطون هذا الفهم الخاطئ المغلوط عليه.
فشأن لفظة } الكافرون { - من حيث إنها لا تدل على معنى واحد – هو ذاته شأن اللفظين الآخرين: } الظالمون {و} الفاسقون {، فكما أن من وُصف أنه ظالم أو فاسق لا يلزم بالضرورة ارتداده عن دينه، فكذلك من وُصف بأنه كافر؛ سواء بسواء.
وهذا التنوع في معنى اللفظ الواحد هو الذي تدل عليه اللغة، ثم الشرع الذي جاء بلغة العرب – لغة القرآن الكريم –.
فمن أجل ذلك كان الواجب على كل من يتصدى لإصدار الأحكام على المسلمين – سواءً كانوا حكاماً أم محكومين- أن يكون على علم واسع بالكتاب والسنة، وعلى ضوء منهج السلف الصالح.
والكتاب والسنة لا يمكن فهمهما – وكذلك ما تفرع عنهما – ألا بطريق معرفة اللغة العربية وآدابها معرفة دقيقة.
فإن كان لدى طالب العلم نقص في معرفة اللغة العربية، فإن مما يساعده في استدراك ذلك النقص الرجوع إلى فهم من قبله من الأئمة والعلماء، وبخاصة أهل القرون الثلاثة المشهود لهم بالخيرية.
ولنرجع إلى الآية: } ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون {، فما المراد بالكفر فيها ؟ هل هو الخروج عن الملة ؟ أو أنه غير ذلك ؟
فأقول: لا بد من الدقة في فهم هذه الآية، فإنها قد تعني الكفر العملي؛ وهو الخروج بالأعمال عن بعض أحكام الإسلام.
ويساعدنا في هذا الفهم حبر الأمة وترجمان القرآن، عبدالله بن عباس رضي الله عنهما؛ الذي أجمع المسلمون جميعاً – إلا من كان من تلك الفرق الضالة – على أنه إمام فريد في التفسير.
فكأنه طرق سمعه يومئذ ما نسمعه اليوم تماماً من أن هناك أناساً يفهمون هذه الآية فهماً سطحياً، من غير تفصيل، فقال رضي الله عنه: " ليس الكفر الذي تذهبون إليه "، و: " إنه ليس كفراً ينقل عن الملة " و: " هو كفر دون كفر ".
ولعله يعني بذلك الخوارج الذين خرجوا على أمير المؤمنين علي رضي الله عنه، ثم كان من عواقب ذلك أنهم سفكوا دماء المؤمنين، وفعلوا فيهم ما لم يفعلوا بالمشركين: فقال: ليس الأمر كما قالوا، أو كما ظنوا، وإنما هو كفر دون كفر (3).
هذا الجواب المختصر الواضح من ترجمان القرآن في تفسير هذه الآية هو الحكم الذي لا يمكن أن يُفهم سواه من النصوص التي أشرت إليها قبل (4).
ثم إن كلمة (الكفر) ذُكرت في كثير من النصوص القرآنية والحديثية، ولا يمكن أن تُحمل – فيها جميعاً – على أنها تساوي الخروج من الملة (5)، من ذلك مثلاً الحديث المعروف في الصحيحين عن عبدالله بن مسعود رضي الله تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ] سباب المسلم فسوق، وقتاله كفر [. فالكفر هنا هو المعصية، التي هي الخروج عن الطاعة، ولكن الرسول عليه الصلاة والسلام – وهو أفصح الناس بياناً – بالغ في الزجر، قائلاً: ] … وقتاله كفر [.
ومن ناحية أخرى، هل يمكن لنا أن نفسر الفقرة الأولى من هذا الحديث – ] سباب المسلم فسوق [ – على معنى الفسق المذكور في اللفظ الثالث ضمن الآية السابقة: } ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون { ؟
والجواب: أن هذا قد يكون فسقاً مرادفاً للكفر الذي هو بمعنى الخروج عن الملة، وقد يكون الفسق مرادفاً للكفر الذي لا يعني الخروج عن الملة، وإنما يعني ما قاله ترجمان القرآن إنه كفر دون كفر.
وهذا الحديث يؤكد أن الكفر قد يكون بهذا المعنى؛ وذلك لأن الله عز وجل قال: } وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله {. إذ قد ذكر ربنا عز وجل هنا الفرقة الباغية التي تقاتل الفرقة المحقة المؤمنة، ومع ذلك فلم يحكم على الباغية بالكفر، مع أن الحديث يقول: ] … وقتاله كفر [.
إذاً فقتاله كفر دون كفر، كما قال ابن عباس في تفسير الآية السابقة تماماً.
فقتال المسلم للمسلم بغي واعتداء، وفسق وكفر، ولكن هذا يعني أن الكفر قد يكون كفراً عملياً، وقد يكون كفراً اعتقادياً.
من هنا جاء هذا التفصيل الدقيق الذي تولى بيانه وشرحه الإمام – بحق – شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله، وتولى ذلك من بعده تلميذه البار ابن قيم الجوزية، إذ لهما الفضل في التنبيه والدندنة على تقسيم الكفر إلى ذلك التقسيم، الذي رفع رايته ترجمان القرآن بتلك الكلمة الجامعة الموجزة، فابن تيمية يرحمه الله وتلميذه وصاحبه ابن قيم الجوزية: يدندنان دائماً حول ضرورة التفريق بين الكفر الاعتقادي والكفر العملي، وإلا وقع المسلم من حيث لا يدري في فتنة الخروج عن جماعة المسلمين، التي وقع فيها الخوارج قديماً وبعض أذنابهم حديثاً.
وخلاصة القول: إن قوله صلى الله عليه و سلم ] … وقتاله كفر [ لا يعني – مطلقاً – الخروج عن الملة.
والأحاديث في هذا كثيرة جداً، فهي – جميعاً- حجة دامغة على أولئك الذين يقفون عند فهمهم القاصر للآية السابقة، ويلتزمون تفسيرها بالكفر الاعتقادي.
فحسبنا الآن هذا الحديث؛ لأنه دليل قاطع على أن قتال المسلم لأخيه المسلم هو كفر، بمعنى الكفر العملي، وليس الكفر الاعتقادي.
فإذا عدنا إلى (جماعة التكفير) – أو من تفرع عنهم –، وإطلاقهم على الحكام، – وعلى من يعيشون تحت رايتهم بالأولى، وينتظمون تحت إمرتهم وتوظيفهم – الكفر والردة، فإن ذلك مبني على وجهة نظرهم الفاسدة، القائمة على أن هؤلاء ارتكبوا المعاصي فكفروا بذلك (6).
ومن جملة الأمور التي يفيد ذكرها وحكايتها: أنني التقيت مع بعض أولئك الذين كانوا من (جماعة التكفير) ثم هداهم الله عز وجل:
 فقلت لهم: ها أنتم كفرتم بعض الحكام، فما بالكم تكفرون أئمة المساجد، وخطباء المساجد، ومؤذني المساجد، وخَدَمَةَ المساجد ؟ وما بالكم تكفرون أساتذة العلم الشرعي في المدارس وغيرها ؟
قالوا: لأن هؤلاء رضوا بحكم هؤلاء الحكام الذين يحكمون بغير ما أنزل الله.
فأقول: إذا كان هذا الرضى رضىً قلبياً بالحكم بغير ما أنزل الله، فحينئذ ينقلب الكفر العملي إلى كفر اعتقادي. فأي حاكم يحكم بغير ما أنزل الله وهو يرى ويعتقد أن هذا هو الحكم اللائق تبنيه في هذا العصر، وأنه لا يليق به تبنيه للحكم الشرعي المنصوص في الكتاب والسنة، فلا شك أن هذا الحاكم يكون كفره كفراً اعتقادياً، وليس كفراً عملياً فقط، ومن رضي ارتضاءه واعتقاده: فإنه يلحق به (7).
ثم قلت لهم: فأنتم – أولاً – لا تستطيعون أن تحكموا على كل حاكم يحكم بالقوانين الغربية الكافرة – أو بكثير منها –، أنه لو سئل عن الحكم بغير ما أنزل الله ؟! لأجاب: بأن الحكم بهذه القوانين هو الحق والصالح في هذا العصر، وأنه لا يجوز الحكم بالإسلام، لأنهم لو قالوا ذلك لصاروا كفاراً – حقاً – دون شك ولا ريب.
فإذا انتقلنا إلى المحكومين – وفيهم العلماء والصالحون وغيرهم –، فكيف تحكمون عليهم بالكفر بمجرد أنهم يعيشون تحت حكم يشملهم كما يشملكم أنتم تماماً ؟ ولكنكم تعلنون أن هؤلاء كفار مرتدون، والحكم بما أنزل الله هو الواجب، ثم تقولون معتذرين لأنفسكم: إن مخالفة الحكم الشرعي بمجرد العمل لا يستلزم الحكم على هذا العامل بأنه مرتد عن دينه !.
وهذا عين ما يقوله غيركم، سوى أنكم تزيدون عليهم – بغير حق – الحكم بالتكفير والردة.
ومن جملة المسائل التي توضح خطأهم وضلالهم، أن يقال لهم: متى يحكم على المسلم الذي يشهد أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله – وقد يكون يصلي – بأنه ارتد عن دينه ؟
أيكفي مرة واحدة ؟
أو أنه يجب أن يعلن أنه مرتد عن الدين؟!.
إنهم لن يعرفوا جواباً، ولن يهتدوا صواباً، فنضطر إلى أن نضرب لهم المثل التالي، فنقول:
قاضِ يحكم بالشرع، هكذا عادته ونظامه، لكنه في حكومة واحدة زلَت به القدم فحكم بخلاف الشرع، أي: أعطى الحق للظالم وحرمه المظلوم، فهذا – قطعاً – حكم بغير ما أنزل الله ؟ فهل تقولون بأنه: كَفَرَ كُفرَ ردة ؟
سيقولون: لا؛ لأن هذا صدر منه مرة واحدة.
فنقول: إن صدر نفس الحكم مرة ثانية، أو حكم آخر، وخالف الشرع أيضاً، فهل يكفر؟
ثم نكرر عليهم: ثلاث مرات، أربع مرات، متى تقولون: أنه كفر ؟! لن يستطيعوا وضع حد بتعداد أحكامه التي خالف فيها الشرع، ثم لا يكفرونه بها.
في حين يستطيعون عكس ذلك تماماً، إذا عُلمَ منه أنه في الحكم الأول استحسن الحكم بغير ما أنزل الله – مستحلاً له – واستقبح الحكم الشرعي، فساعتئذ يكون الحكم عليه بالردة صحيحاً، ومن المرة الأولى.
وعلى العكس من ذلك: لو رأينا منه عشرات الحكومات، في قضايا متعددة خالف فيها الشرع، وإذا سألناه: لماذا حكمت بغير ما أنزل الله عز وجل ؟ فرد قائلاً: خفت وخشيت على نفسي، أو ارتشيت مثلاً فهذا أسوأ من الأول بكثير، ومع ذلك فإننا لا نستطيع أن نقول بكفره، حتى يعرب عمّا في قلبه بأنه لا يرى الحكم بما أنزل الله عز وجل، فحينئذ فقط نستطيع أن نقول: إنه كافر كفر ردة.
وخلاصة الكلام: لا بد من معرفة أن الكفر – كالفسق والظلم –، ينقسم إلى قسمين:
كفر وفسق وظلم يخرج من الملة، وكل ذلك يعود إلى الاستحلال القلبي.
وآخر لا يخرج من الملة؛ يعود إلى الاستحلال العملي.
فكل المعاصي – وبخاصة ما فشا في هذا الزمان من استحلال عملي للرّبا، والزنى، وشرب الخمر، وغيرها، – هي من الكفر العملي، فلا يجوز أن نكفر العصاة المتلبسين بشيء من المعاصي لمجرد ارتكابهم لها، واستحلالهم إياها عملياً، إلا إذا ظهر – يقيناً – لنا منهم – يقيناً – ما يكشف لنا عما في قرارة نفوسهم أنهم لا يُحَرّمُون ما حرم الله ورسوله اعتقاداً؛ فإذا عرفنا أنهم وقعوا في هذه المخالفة القلبية حكمنا حينئذ بأنهم كفروا كفر ردة.
أما إذا لم نعلم ذلك فلا سبيل لنا إلى الحكم بكفرهم؛ لأننا نخشى أن نقع تحت وعيد قوله عليه الصلاة والسلام: ] إذا قال الرجل لأخيه: يا كافر، فقد باء بها أحدهما [.
والأحاديث الواردة في هذا المعنى كثيرة جداً، أذكر منها حديثاً ذا دلالة كبيرة، وهو في قصة ذلك الصحابي الذي قاتل أحد المشركين، فلما رأى هذا المُشرك أنه صار تحت ضربة سيف المسلم الصحابي، قال: أشهد أن لا إله إلا الله، فما بالاها الصحابي فقتله، فلما بلغ خبره النبي صلى الله عليه و سلم أنكر عليه ذلك أشد الإنكار، فاعتذر الصحابي بأن المشرك ما قالها إلا خوفاً من القتل، وكان جوابه صلى الله عليه و سلم: ] هلاّ شققت عن قلبه ؟! [. أخرجه البخاري ومسلم من حديث أسامة بن زيد رضي الله عنه.
إذاً الكفر الاعتقادي ليس له علاقة أساسية بمجرد العمل(8) إنما علاقته الكبرى بالقلب.
ونحن لا نستطيع أن نعلم ما في قلب الفاسق، والفاجر، والسارق، والزاني، والمرابي … ومن شابههم، إلا إذا عبّر عما في قلبه بلسانه، أما عمله فيبنئ أنه خالف الشرع مخالفة عملية.
فنحن نقول : إنك خالفت، وإنك فسقت، وإنك فجرت، لكن لا نقول : إنك كفرت، وارتدت عن دينك، حتى يظهر منه شئ يكون لنا عذر عند الله عز وجل في الحكم بردته، ثم يأتي الحكم المعروف في الإسلام عليه؛ ألا وهو قوله عليه الصلاة والسلام:] من بدل دينه فاقتلوه [ .
ثم قلت – وما أزال أقول – لهؤلاء الذين يدندنون حول تكفير حكام المسلمين:
هبوا أن هؤلاء الحكام كفار كفر ردة، وهبوا – أيضاً – أن هناك حاكماً أعلى على هؤلاء، فالواجب – والحالة هذه – أن يطبق هذا الحاكم الأعلى فيهم الحد.
ولكن؛ الآن: ماذا تستفيدون أنتم من الناحية العملية إذا سلّمنا – جدلاً – أن هؤلاء الحكام كفار كفر ردة ؟! ماذا يمكن أن تصنعوا وتفعلوا ؟.
إذ قالوا: ولاء وبراء؛ فنقول: الولاء والبراء مرتبطان بالموالاة والمعاداة – قلبية وعملية – وعلى حسب الاستطاعة، فلا يشترط لوجودهما إعلان التكفير وإشهار الردة.
بل إن الولاء والبراء قد يكونان في مبتدع، أو عاص، أو ظالم.
ثم أقول لهؤلاء: ها هم هؤلاء الكفار قد احتلوا من بلاد الإسلام مواقع عدة، ونحن مع الأسف ابتلينا باحتلال اليهود لفلسطين.
فما الذي نستطيع نحن وأنتم فعله مع هؤلاء ؟! حتى تقفوا أنتم – وحدكم – ضد أولئك الحكام الذين تظنون أنهم من الكفار(9) ؟!.
هلا تركتم هذه الناحية جانباً، وبدأتم بتأسيس القاعدة التي على أساسها تقوم قائمة الحكومة المسلمة، وذلك باتباع سنة رسول الله r التي ربى أصحابه عليها، ونَشّأهم على نظامها وأساسها.
نذكر هذا مراراً، ونؤكده تكراراً: لا بد لكل جماعة مسلمة من العمل بحق لإعادة حكم الإسلام، ليس فقط على أرض الإسلام، بل على الأرض كلها، وذلك تحقيقاً لقوله تبارك وتعالى: } هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون { (9- الصف). وقد جاء في بعض بشائر الأحاديث النبوية أن هذه الآية ستتحقق فيما بعد.
فلكي يتمكن المسلمون من تحقيق هذا النص القرآني والوعد الإلهي، فلا بد من سبيل بيّن وطريق واضح، فهل يكون ذلك الطريق بإعلان ثورة على هؤلاء الحكام الذين يظن هؤلاء أن كفرهم كفر ردة ؟ ثم مع ظنهم هذا – وهو ظن غالط خاطئ – لا يستطيعون أن يعملوا شيئاً (10).
إذاً؛ ما هو المنهج ؟ وما هو الطريق ؟
لا شك أن الطريق الصحيح هو ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يدندن حوله، ويُذكّر أصحابه به في كل خطبة: ] وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم [.
فعلى المسلمين كافة – وبخاصة منهم من يهتم بإعادة الحكم الإسلامي – أن يبدؤوا من حيث بدأ رسول الله صلى الله عليه و سلم، وهو ما نوجزه نحن بكلمتين خفيفتين: (التصفية، والتربية).
ذلك لأننا نعلم حقائق ثابتة وراسخة يغفل عنها – أو يتغافل عنها – أولئك الغلاة، الذين ليس لهم إلا إعلان تكفير الحكام، ثم لا شيء.
وسيظلون يعلنون تكفير الحكام، ثم لا يصدر منهم – أو عنهم – إلا الفتن والمحن !!.
والواقع في هذه السنوات الأخيرة على أيدي هؤلاء، بدءاً من فتنة الحرم المكي، إلى فتنة مصر، وقتل السادات، وأخيراً في
سوريا، ثم الآن في مصر والجزائر – منظور لكل أحد –: هدر دماء من المسلمين الأبرياء بسبب هذه الفتن والبلايا، وحصول كثير من المحن والرزايا.
كل هذا بسبب مخالفة هؤلاء لكثير من نصوص الكتاب والسنة، وأهمها قوله تعالى: } لقد كان لكم في رسول الله أسوةٌ حسنةٌ لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيراً { (21 – الأحزاب).
إذا أردنا أن نقيم حكم الله في الأرض – حقاً لا ادعاء –، هل نبدأ بتكفير الحكام ونحن لا نستطيع مواجهتهم، فضلاً عن أن نقاتلهم ؟ أم نبدأ – وجوباً – بما بدأ به الرسول عليه الصلاة والسلام ؟
لاشك أن الجواب: } لقد كان لكم في رسول الله أسوةٌ حسنةٌ … {.
ولكن؛ بماذا بدأ رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟
من المتيقين عند كل من اشتم رائحة العلم أنه صلى الله عليه و سلم بدأ بالدعوة بين الأفراد الذين كان يظن فيهم الاستعداد لتقبل الحق، ثم استجاب له من استجاب من أفراد الصحابة – كما هو معروف في السيرة النبوية –، ثم وقع بعد ذلك التعذيب والشدة التي أصابت المسلمين في مكة، ثم جاء الأمر بالهجرة الأولى والثانية، حتى وطد الله عز وجل الإسلام في المدينة المنورة، وبدأت هناك المناوشات والمواجهات، وبدأ القتال بين المسلمين وبين الكفار من جهة، ثم اليهود من جهة أخرى … هكذا.
إذاً؛ لا بد أن نبدأ نحن بتعليم الناس الإسلام الحق، كما بدأ الرسول عليه الصلاة والسلام، لكن؛ لا يجوز لنا الآن أن نقتصر على مجرد التعليم فقط، فلقد دخل في الإسلام ما ليس منه، وما لا يمت إليه بصلة، من البدع والمحدثات مما كان سبباً في تهدم الصرح الإسلامي الشامخ.
فلذلك كان الواجب على الدعاة أن يبدءوا بتصفية هذا الإسلام مما دخل فيه.
هذا هو الأصل الأول: (التصفية)
وأما الأصل الثاني: فهو أن يقترن مع هذه التصفية تربية الشباب المسلم الناشئ على هذا الإسلام المصفى (11).
ونحن إذا درسنا واقع الجماعات الإسلامية القائمة منذ نحو قرابة قرن من الزمان، وأفكارها وممارساتها، لوجدنا الكثير منهم لم يستفيدوا – أو يفيدوا – شيئاً يذكر، برغم صياحهم وضجيجهم بأنهم يريدونها حكومة إسلامية، مما سبب سفك دماء أبرياء كثيرين بهذه الحجة الواهية، دون أن يحققوا من ذلك شيئاً.
فلا نزال نسمع منهم العقائد المخالفة للكتاب والسنة، والأعمال المنافية للكتاب والسنة، فضلاً عن تكرارهم تلك المحاولات الفاشلة المخالفة للشرع.
وختاماً أقول: هناك كلمة لأحد الدعاة– كنت أتمنى من أتباعه أن يلتزموها وأن يحققوها – وهي: (أقيموا دولة الإسلام في قلوبكم تقم لكم على أرضكم)(12).
لأن المسلم إذا صحح عقيدته بناءً على الكتاب والسنة، فلا شك أنه بذلك ستصلح عبادته، وستصلح أخلاقه، وسيصلح سلوكه …الخ
لكن هذه الكلمة الطيبة – مع الأسف – لم يعمل بها هؤلاء الناس، فظلوا يصيحون مطالبين بإقامة الدولة المسلمة … لكن دون جدوى، ولقد صدق فيهم – والله – قول الشاعر:
        ترجو النجاة ولم تسلك مسالكها              إن السفينة لا تجري على اليبس
 
لعل فيما ذكرت مقنعاً لكل منصف، ومنتهى لكل متعسف. والله المستعان.