Jumat, 13 September 2019

BELAJAR BIJAK : BUASNYA SINGA DAN BUASNYA MANUSIA

Sore itu Rubi datang ke warungnya. Di dalam warung sudah ada Herma dan Kimung yang sedang asyik menonton televisi. Yang mereka saksikan adalah saluran khusus yang menayangkan kehidupan binatang di alam bebas. Kelihatan keras dan berdarah, namun tak jarang di dalamnya ada muatan filosofis yang perlu juga kita pelajari.

Setelah Rubi tiba, tak berapa lama acara nonton televisi pun usai. Kemudian acara dilanjutkan dengan obrolan bebas seperti biasanya. Kali ini topiknya membahas tentang kehidupan dunia binatang.

“Kita sering mengatakan bahwa macan dan singa adalah binatang buas. Kalau yang dimaksud buas karena macan dan singa memangsa hewan hidup lain, apakah itu tepat? Bukanlah manusia juga membunuh hewan-hewan dalam jumlah yang jauh lebih banyak? Singa dan macan membunuh hewan-hewan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup agar tidak mati kela- paran, sedangkan manusia membunuh untuk memenuhi nafsunya yang tidak pernah terpuaskan. Ia bisa membunuh hewan-hewan karena ingin menikmati dagingnya yang lezat, bisa tergiur oleh khasiat bagian atau organ tubuh tertentu, tertarik keindahan kulit binatang yang berharga mahal, dan bahkan tak jarang membunuh tanpa dasar alasan apa pun”, tiba- tiba Herma bercerita seolah-olah ia sedang bicara pada dirinya sendiri.

“Benar Ma, macan dan singa membunuh untuk makan, sedangkan manusia bisa dengan sejuta alasan, termasuk tanpa ada alasan apa pun. Bahkan caranya bisa sangat kejam. Kalau macan dan singa mengoyak mangsa dengan giginya yang tajam dan itu yang disebut kejam, maka apa yang harus kita katakan kala orang-orang mengkoyak- koyak sirip ikan hiu dan kemudian membuang badannya yang sudah tak berdaya, berdarah-darah di tengah laut begitu saja, sampai akhirnya dibiarkan mati dirajam teman- temannya?”, tambah Kinung.

Herma mengangguk dan dengan suara pelan dia berkata, “Macan mengkoyak mangsanya karena hanya cara itulah yang dia kuasai untuk membunuh. Kalau manusia demikian canggih, bisa meniru macan, bisa dengan tembakan, jeratan dan bahkan dengan fitnah yang lebih kejam dan mengerikan.”

“Betul, mengerikan”, sambung Kinung.

“Ada lagi yang mengatakan bahwa macan dan singa buas karena makan daging mentah dan berdarah. Tetapi apakah tepat jika dikatakan demikian? Bagaimana dengan orang yang suka memakan sashimi atau makan daging mentah? Bahkan aku pernah melihat orang-orang yang makan anak tikus yang masih merah hidup-hidup. Juga bagaimana dengan orang yang suka memangkas batok kepala kera hidup-hidup dan kemudian dalam keadaan sekarat, otak yang berdarah-darah si kera dimakan mentah-mentah dengan campuran arak? Apakah itu tidak kalah buas dan sangat sadis?”

Herma bergidik ngeri dan jijik mendengar cerita Kinung, meski sejatinya dia sering mendengar cerita itu. Herma kemudian mencoba menceritakan pengalamannya, “Nung, ular yang sering disebut licik ternyata juga tidak serakah. Kalau sudah kenyang ia akan tidur pulas dan membiarkan mangsanya begitu saja. Aku pernah melihat ular sebesar paha, tidur dalam kotak plastik, dan di atasnya ada seekor kelinci yang berlarian dengan bebasnya meng- injak-injak tubuh ular itu. Ia tetap bergeming karena ia kenyang dan hanya membunuh kalau butuh makan untuk mempertahankan hidup”, kata Herma kemudian.

“Ya betul Ma. Hampir semua binatang yang disebut buas dan licik hanya akan membunuh kalau lapar atau terusik. Ular yang sering dikatakan licik sebenarnya masih harus belajar soal kelicikan pada manusia sebagai sang raja licik yang sesungguhnya. Bayangkan, selicik-liciknya ular, kalau membunuh dia akan lakukan sendiri. Artinya menjadi jelas siapa yang bertanggung jawab. Sementara manusia, tanpa menyentuh dan sering tanpa bisa dibuktikan pun bisa mencelakai sesama dengan mudah. Lebih gila lagi, dia bisa dengan mudah pula menimpakan semua kesalahan pada orang yang sama sekali tidak berdosa”, imbuh Kinung.

“Rub, kok kamu diam saja? Kamu kurang enak badan? Masuk angin? Aku buatin wedang jahe ya?”, tiba-tiba Herma bertanya pada Rubi yang sejak tadi sama sekali tidak berkomentar.

“Tidak Ma, terima kasih, aku sehat-sehat saja. Dari tadi aku menyimak dengan baik pembicaraanmu dengan Kinung kok. Mau dikomentari apa lagi? Semua yang kalian berdua katakan memang benar adanya. Cuma kalian berdua kan tahu bahwa manusia pandai berargumentasi dan berdiplo- masi, sehingga dengan amat mudah tetap akan mengatakan bahwa macan dan singa adalah binatang paling buas, sedangkan ular binatang paling licik. Mengapa? Karena manusia kan bukan binatang, meski menurut teori Darwin digolongkan dalam kelompok primata, hehehe.”

“Benar juga ya Rub”, komentar Herma.

“Ada satu lagi yang ingin kutambahkan. Kalau macan, singa, ular dan kawan-kawannya tidak bisa mengelak tuduhan bila melakukan pembunuhan, manusia tidak sekadar bisa mengelak dan malah memfitnah menimpakan kesalahan pada orang lain, tetapi dia bisa dengan terbuka membangun citra sebagai orang yang baik dan dermawan. Hitamnya dikubur dalam-dalam dan yang tampak akan terlihat putih cemerlang tanpa noda”, kata Rubi sungguh-sungguh. 

“Dan terakhir, Ma, Nung, janganlah terlalu menjelek-jelekkan manusia, karena bagaimanapun juga kalian berdua, dan tentu termasuk aku sendiri, juga manusia yang sejak tadi kita kritik habis-habisan Hahaha”, pungkas Rubi.

Kinung, Herma dan Rubi tertawa lepas menertawakan kemunafikan diri sendiri.

"Buku Tuhan Sudah Pindah Alamat Karya Budi S. Tanuwibowo"