Tampilkan postingan dengan label Falsafah Hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Falsafah Hidup. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Oktober 2019

FILOSOFI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA INDONESIA

Pancasila adalah ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada alinea ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Selain itu, setiap 1 Oktober juga diadakan upacara Hari Kesaktian Pancasila setiap tahunnya. Upacara ini sebagai wujud untuk mengenang dan menghormati para jasa pahlawan revolusi. Diharapkan peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober sebagai momen untuk memperkuat kesatuan dan persatuan.

Pancasila memang benar-benar sakti dengan nilai-nilai yang dikandung didalamnya. Banyak sekali yang berpendapat tentang sila-sila dalam pancasila itu diambil dari ayat-ayat suci al-quran. 

Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini ada dalam Al Quran surat Al Ikhlas ayat 1. Terjemahannya yaitu "Katakanlah, dialah Alloh, Yang Maha Esa. Dalam Islam, ibadah dan hukum yang dibawa tiap-tiap nabi yang diutus berbeda sesuai dengan kondisi pada saat itu. Namun ada yang tidak berubah yaitu semua nabi mengajarkan Tauhid yaitu mengesakan Tuhan.

Sila Kedua : Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Sila ini ada dalam Al Quran surat An Nisa 135. Terjemahannya yaitu : “Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.

Sila Ketiga : Persatuan Indonesia. Sila ini juga ada dalam Al Quran  surat Al Hujurat ayat 13. Terjemahannya yaitu : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Ayat ini sangat cocok mengingat Indonesia terdiri dari beragam suku.

Sila Keempat : Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini juga ada dalam Al Quran surat As Syuro 38. Terjemahannya yaitu : "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya, dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rejeki, yang Kami berikan kepada mereka."

Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini juga ada dalam Al Quran surat An Nahl ayat 90. Terjemahannya yaitu : "Sesungguhnya Allah menyuruh (manusia) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi (sedekah) kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (manusia), agar kamu dapat mengambil pelajaran."

Selain itu pancasila juga bisa dimaknai secara urut sesuai silanya sebagai berikut. Sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" menunjukan bahwa negara ini sangat menghargai keberadaan agama-agama yang ada di Indonesia. Sila ini dapat diartikan bahwa setiap warga negara indonesia adalah orang-orang yang beragama bukan komunis atau atheis sehingga dengan itu warga negara indonesia mempunyai sikap cinta kasih dan akhlak yang baik, karena setiap agama mengajarkan untuk saling mengasihi. Dengan cinta kasih maka akan menjadi manusia yang adil dan beradab seperti pada sila kedua "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab".

Orang yang beragama yang menjalankan agamanya dengan sebaik-baiknya pasti mempunyai adab yang baik disertai dengan rasa keadilan yang tertanam dalam hatinya maka dengan itu pada akhirnya orang tersebut menyukai persatuan daripada perpecahan dan provokasi seperti pada sila ketiga "Persatuan Indonesia".

Orang yang menyukai persatuan tentunya didalamnya harus ada musyawarah-musyawarah agar keadaan tetap tertib dan teratur seperti pada sila keempat "Kerakyatan Uang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan".

Dan akhirnya jika sudah suka bermusyawarah maka pasti akan terciptalah sebuah negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh warganya. Hal ini merupakan sila kelima dari Pancasila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Jumat, 13 September 2019

BELAJAR BIJAK : BUASNYA SINGA DAN BUASNYA MANUSIA

Sore itu Rubi datang ke warungnya. Di dalam warung sudah ada Herma dan Kimung yang sedang asyik menonton televisi. Yang mereka saksikan adalah saluran khusus yang menayangkan kehidupan binatang di alam bebas. Kelihatan keras dan berdarah, namun tak jarang di dalamnya ada muatan filosofis yang perlu juga kita pelajari.

Setelah Rubi tiba, tak berapa lama acara nonton televisi pun usai. Kemudian acara dilanjutkan dengan obrolan bebas seperti biasanya. Kali ini topiknya membahas tentang kehidupan dunia binatang.

“Kita sering mengatakan bahwa macan dan singa adalah binatang buas. Kalau yang dimaksud buas karena macan dan singa memangsa hewan hidup lain, apakah itu tepat? Bukanlah manusia juga membunuh hewan-hewan dalam jumlah yang jauh lebih banyak? Singa dan macan membunuh hewan-hewan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup agar tidak mati kela- paran, sedangkan manusia membunuh untuk memenuhi nafsunya yang tidak pernah terpuaskan. Ia bisa membunuh hewan-hewan karena ingin menikmati dagingnya yang lezat, bisa tergiur oleh khasiat bagian atau organ tubuh tertentu, tertarik keindahan kulit binatang yang berharga mahal, dan bahkan tak jarang membunuh tanpa dasar alasan apa pun”, tiba- tiba Herma bercerita seolah-olah ia sedang bicara pada dirinya sendiri.

“Benar Ma, macan dan singa membunuh untuk makan, sedangkan manusia bisa dengan sejuta alasan, termasuk tanpa ada alasan apa pun. Bahkan caranya bisa sangat kejam. Kalau macan dan singa mengoyak mangsa dengan giginya yang tajam dan itu yang disebut kejam, maka apa yang harus kita katakan kala orang-orang mengkoyak- koyak sirip ikan hiu dan kemudian membuang badannya yang sudah tak berdaya, berdarah-darah di tengah laut begitu saja, sampai akhirnya dibiarkan mati dirajam teman- temannya?”, tambah Kinung.

Herma mengangguk dan dengan suara pelan dia berkata, “Macan mengkoyak mangsanya karena hanya cara itulah yang dia kuasai untuk membunuh. Kalau manusia demikian canggih, bisa meniru macan, bisa dengan tembakan, jeratan dan bahkan dengan fitnah yang lebih kejam dan mengerikan.”

“Betul, mengerikan”, sambung Kinung.

“Ada lagi yang mengatakan bahwa macan dan singa buas karena makan daging mentah dan berdarah. Tetapi apakah tepat jika dikatakan demikian? Bagaimana dengan orang yang suka memakan sashimi atau makan daging mentah? Bahkan aku pernah melihat orang-orang yang makan anak tikus yang masih merah hidup-hidup. Juga bagaimana dengan orang yang suka memangkas batok kepala kera hidup-hidup dan kemudian dalam keadaan sekarat, otak yang berdarah-darah si kera dimakan mentah-mentah dengan campuran arak? Apakah itu tidak kalah buas dan sangat sadis?”

Herma bergidik ngeri dan jijik mendengar cerita Kinung, meski sejatinya dia sering mendengar cerita itu. Herma kemudian mencoba menceritakan pengalamannya, “Nung, ular yang sering disebut licik ternyata juga tidak serakah. Kalau sudah kenyang ia akan tidur pulas dan membiarkan mangsanya begitu saja. Aku pernah melihat ular sebesar paha, tidur dalam kotak plastik, dan di atasnya ada seekor kelinci yang berlarian dengan bebasnya meng- injak-injak tubuh ular itu. Ia tetap bergeming karena ia kenyang dan hanya membunuh kalau butuh makan untuk mempertahankan hidup”, kata Herma kemudian.

“Ya betul Ma. Hampir semua binatang yang disebut buas dan licik hanya akan membunuh kalau lapar atau terusik. Ular yang sering dikatakan licik sebenarnya masih harus belajar soal kelicikan pada manusia sebagai sang raja licik yang sesungguhnya. Bayangkan, selicik-liciknya ular, kalau membunuh dia akan lakukan sendiri. Artinya menjadi jelas siapa yang bertanggung jawab. Sementara manusia, tanpa menyentuh dan sering tanpa bisa dibuktikan pun bisa mencelakai sesama dengan mudah. Lebih gila lagi, dia bisa dengan mudah pula menimpakan semua kesalahan pada orang yang sama sekali tidak berdosa”, imbuh Kinung.

“Rub, kok kamu diam saja? Kamu kurang enak badan? Masuk angin? Aku buatin wedang jahe ya?”, tiba-tiba Herma bertanya pada Rubi yang sejak tadi sama sekali tidak berkomentar.

“Tidak Ma, terima kasih, aku sehat-sehat saja. Dari tadi aku menyimak dengan baik pembicaraanmu dengan Kinung kok. Mau dikomentari apa lagi? Semua yang kalian berdua katakan memang benar adanya. Cuma kalian berdua kan tahu bahwa manusia pandai berargumentasi dan berdiplo- masi, sehingga dengan amat mudah tetap akan mengatakan bahwa macan dan singa adalah binatang paling buas, sedangkan ular binatang paling licik. Mengapa? Karena manusia kan bukan binatang, meski menurut teori Darwin digolongkan dalam kelompok primata, hehehe.”

“Benar juga ya Rub”, komentar Herma.

“Ada satu lagi yang ingin kutambahkan. Kalau macan, singa, ular dan kawan-kawannya tidak bisa mengelak tuduhan bila melakukan pembunuhan, manusia tidak sekadar bisa mengelak dan malah memfitnah menimpakan kesalahan pada orang lain, tetapi dia bisa dengan terbuka membangun citra sebagai orang yang baik dan dermawan. Hitamnya dikubur dalam-dalam dan yang tampak akan terlihat putih cemerlang tanpa noda”, kata Rubi sungguh-sungguh. 

“Dan terakhir, Ma, Nung, janganlah terlalu menjelek-jelekkan manusia, karena bagaimanapun juga kalian berdua, dan tentu termasuk aku sendiri, juga manusia yang sejak tadi kita kritik habis-habisan Hahaha”, pungkas Rubi.

Kinung, Herma dan Rubi tertawa lepas menertawakan kemunafikan diri sendiri.

"Buku Tuhan Sudah Pindah Alamat Karya Budi S. Tanuwibowo" 

Kamis, 12 September 2019

BELAJAR BIJAK : BAN PESAWAT DAN KEPEMIMPINAN

Hari itu mereka bertiga: Rubi, Herma dan Kinung hendak Ha ke luar kota. Rencananya mau mengajak keluarga. Namun karena anak-anak sedang ujian, terpaksa mereka berbagi tugas dengan istri dan suami masing-masing. Apalagi mereka akan pergi cukup lama, 3-4 hari, memenuhi undangan salah satu sahabat baik mereka, Mitha, yang mau mantu, menikahkan anak pertamanya.
Sambil menunggu masuk pesawat, mereka duduk- duduk santai di lounge, sambil berbincang dan menyantap makanan kecil. Dari kaca pembatas, sesekali mereka bisa melihat pesawat yang take off maupun landing. Tiba- tiba Herma berkata, “Coba perhatikan, ban pesawat itu begitu kecil. Jumlahnya pun cuma enam. Dua di depan, empat di belakang. Tapi beban pesawat, penumpang dan bagasi yang begitu berat bisa ditahannya. Sungguh hebat ban pesawat itu!”.

“Itu tidak seberapa Ma. Coba perhatikan kalau sedang mendarat. Betapa besar beban dan gesekan yang terjadi. Itu bisa berlipat kali dibanding dalam keadaan statis. Tapi ban itu kuat dan tidak pecah. Padahal ban truk-truk gandeng yang jumlahnya belasan itu kerap kali harus diganti. Hebat memang ban pesawat”, komentar Kinung menimpali.

“Ya, kualitas bannya memang beda Nung. Mungkin harganya juga berlipat-lipat”, Herma menyatakan pendapatnya. “Betul. Juga kualitas aspal landasan beda dengan jalan raya kita yang amat banyak lubangnya di sana-sini. Belum lagi di kala musim hujan”, imbuh Kinung.

“Tapi aku jadi kepikiran ucapanmu tadi, Nung. Ketika pesawat itu mendarat kan bebannya jadi berlipat. Kok ban itu begitu kuatnya ya? Hebat benar kualitasnya”, kata Herma sambil menerawang ke arah pesawat yang sedang hilir mudik. “Ya benar. Hebat”, jawab Kinung.

“Ada banyak faktor penyebab”, kata Rubi yang selama ini diam saja. Pertama, benar seperti kata Herma, kualitas ban pesawat memang istimewa. Kedua, juga benar yang dikatakan Kinung, kualitas landas pacu jauh lebih bagus ketimbang jalan raya. Ketiga, keahlian dari si pilot itu sendiri ketika mendaratkan pesawatnya. Begitu terlatih, sehingga gesekan yang terjadi paling minimal. Akibatnya berat pesawat tidak serta merta terbebankan langsung ke bawah, namun diimbangi oleh putaran ban yang bundar. Dengan kata lain, berat yang ada tersebar, terbagi oleh putaran roda. Faktor keempat, ya bentuk roda yang bundar itu, sehingga bisa berputar sempurna, membagi beban secara sempurna dan mentetralisirnya.”

“Hebat. Betul analisamu itu Rub”, kata Kinung. “Jadi, intinya terbagi dan tersebar?!”, kata Herma setengah bertanya.
“Ya”, jawab Rubi sambil sedikit menganggukkan kepalanya pelan-pelan.

“Terus..?”, kata Herma memancing Rubi seperti biasa- nya, “Apa maknanya?”

“Maknanya, hahaha.... Kamu ini senangnya mengkait- kaitkan”, jawab Rubi. “Ayo ceritakan donk, apa yang tiba-tiba ada di kepalamu Rub. Aku kan hafal benar dengan kehebatanmu itu”, kata Herma setengah merajuk manja.

“Ayo Rub, mumpung masih punya waktu nih. Kamu tidak mungkin menghindar dari tebakan Herma”, desak Kinung.

“Terlintas di benakku kaitan antara ban pesawat dan kepemimpinan”, kata Rubi dengan sungguh-sungguh. “Wah-wah-wah, sampai sejauh itu Rub?”, komentar Kinung.
“Ya, beban seorang pemimpin itu begitu berat, seperti ban atau roda pesawat. 

Praktis semua beban pada akhirnya seolah ditumpukan kepadanya. Apalagi ketika sedang ada masalah berat, ibarat seperti pesawat mau mendarat. Kalau ia tidak mampu, ya seperti ban pesawat yang pecah meletus. Kalau ia pandai dan mampu, ya akan mulus-mulus saja. Yang dipimpin juga akan merasa nyaman, senyaman kala kita mendarat dengan mulus karena pilotnya begitu handal”, papar Rubi lancar seperti biasanya.

“Cek-cek-cek, Rubi, Rubi, itulah sebabnya aku begitu kagum, cinta, hormat, sayang, dan sebagainya, dan se- bagainya, kepadamu. Jauh melewati rasa cinta seorang wanita kepada laki-laki”, puji Herma dengan mata berbinar- binar. “Hahaha, Rub, seandainya kamu dulu menyatakan cinta padanya, aku yakin akan diterima dengan tangan terbuka”, canda Kinung sambil tertawa. “Bahkan jika dilakukan sekarang pun, tetap akan diterima dengan suka cita”, sambung Kinung dengan tertawa nakal.

“Hussh, mungkin bisa begitu. Tapi jangan terjadi ya Rub. Persahabatan kita jauh melebihi itu semua”, Herma berkata sungguh-sungguh.

Dengan tersenyum Rubi meneruskan penjelasannya, “Pemimpin yang baik bisa belajar dari ban pesawat itu. Ia harus bisa menahan beban dan membaginya. Beban atau tanggung jawab seberat apa pun akan terasa ringan bila dibagi. Dibagi dengan memberikan delegasi wewenang dan tanggung jawab yang jelas, serta pencapaian kinerja yang baik. Ibaratnya seperti beban pesawat yang terbagi oleh putaran ban yang sempurna dan laju pesawat itu sendiri. 

Bagaimana membaginya agar adil dan merata? Ya seperti ban yang bulat sempurna. Adil! Namun kenapa bisa sempurna? Karena roda atau bannya berputar. Nah putaran itu ibarat kinerja. Meski bundar, kalau statis atau tidak berkinerja, ya berat dan tetap bisa meletus. Terus, seperti kata Kinung, jalannya harus baik. Ibaratnya, konstitusi kalau bicara negara atau AD ART kalau bicara organisasi, harus baik pula. Dan seperti Herma, kualitas ban, alias kualitas sang pemimpin itu sendiri, amat sangat menentukan!”, pungkas Rubi menutup uraiannya. Mereka berdua pun bertepuk tangan, sampai beberapa orang menoleh kepadanya dengan heran. Untungnya berbareng dengan itu ada pengumuman untuk segera naik ke pesawat.

"Buku Tuhan Sudah Pindah Alamat Karya Busi S.Tanuwibowo"