Minggu, 31 Desember 2017

ADAB BERINTERAKSI DENGAN AL QURAN Bag.2

Kitab At-Tibyan Fi Adaabi Hamaalati Al Quran

Diharamkan menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dan berbicara tentang
makna-maknanya bagi siapa yang bukan ahlinya. Banyak hadits berkenaan
dengan perkara tersebut dan ijmak berlaku atasnya.

Sedangkan penafsirannya oleh ulama, itu sesuatu yang diharuskan dan
baik. Dan ijmak telah menetapkan atas hal itu. Maka siapa yang ahli menafsirkan
dan mempunyai alat-alat untuk mengetahui maknanya dan benar sangkaannya terhadap apa yang dimaksud, dia pun bisa menafsirkannya jika dapat diketahui
dengan ijtihad. Seperti makna-makna dan hukum-hukum yang terang ataupun
yang samar, tentang keumuman dan kakhususan serta I’raab dan lainnya.
Kalau tidak dapat diketahui maknanya dengan ijtihad seperti perkara￾perkara yang jalannya adalah menukil dan menafsirkan lafaz-lafaz bahasa, maka
tidak bisa berbicara berkenaang dengannya. Kecuali dengan nukilan yang sahih oleh ahlinya yang dapat diambil kira. 

Sementara orang yang bukan ahlinya
karena tidak mempunyai alat-alatnya, maka haramlah atasnya menafsirkan
maknanya. Bagaimanapun dia bisa menukil tafsirnya dari ahlinya yang layak.
Kemudian, orang-orang yang menafsirkan dengan pendapat mereka
tanpa dalil yang sahih ada beberapa golongan.

• Di antara mereka ada yang berhujah dengan ayat untuk membenarkan
madzhabnya dan menguatkan pikirannya, meskipun tidak benar sangkaannya
bahwa itulah yang dimaksud dengan ayat itu. Dia hanya ingin mengalahkan
lawannya.

• Ada yang ingin menyeru kepada kebaikan dan berhujah dengan suatu
ayat tanpa mengetahui petunjuk atas apa yang dikatakannya.

• Bahkan ada yang menafsirkan lafaz-lafaz Arabnya tanpa memahami
makna-makna dari ahlinya, padahal hal itu tidak bisa diambil kecuali dengan
mendengar dari ahli bahasa Arab dan ahli tafsir, seperti penjelasan makna. lafaz
dan I’rabnya, hadzaf, ringkasan, idhmaar, hakekat dan majaz, keumuman dan
kekhususan, ijmaal dan bayan, pendahuluan dan pengakhiran dan sebagainya
dari hal-hal yang berbeda dengan zahirnya.

Disamping itu tidak cukup mengetahui bahasa Arab saja, tetapi mesti
menmgetahui apa yang dikatakan oleh ahli tafsir berkenaan dengannya.
Kadang-kadang mereka bersepakat untuk meninggalkan zahirnya atau
mendatangkan kekususannya atau yang idhmaar dan sebagainya dari sesuatu
yang berbeda dengan zahirnya.
Apabila lafaznya mempunyai beberapa makna, kemudian dia mengetahui
di suatu tempat bahwa yang dimaksud adalah salah satu makna dari beberapa
makna yang dimaksudnya. Kemudian dia menafsirkan dengan apa yang datang
kepadanya, maka ini semua adalah tafsir menurut pendapatnya (tafsir bir ra’yi)
dan hukumnya haram. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: