Persepsi bahwa rumah tangga hanya ada keruwetan membuat seseorang seperti Isnaeni Wisnu Sudarmaji memilih melajang seumur hidup dan menempuh jalan zuhud. Dengan menempuh jalan zuhud hanya ada keterkaitan dirinya dengan ilahi tanpa ada makhluk_makhluk lain yang mengganggu kemesraannya dengan sang khalik. Istri atau suami dalam rumah tangga bisa jadi penyebab hilangnya fokus terhadap ilahi. Berikut adalah persepsi beliau betapa rumah tangga itu ruwet sekali. Mari kita simak.
Satu ciri rumah tangga memang memaksimalkan karakter pelakunya. Bisa jadi karakter negatif atau positif. Maka jangan heran, orang bisa seolah berubah drastis ketika sudah menikah. Rumahtangga semacam pematangan puncak sifat karakter manusia.
Ruwet menjadikan pelakunya mencari keseimbangan karakter. Parahnya, sifat negatif tidaklah hilang, hanya menunggu momen keruwetan selanjutnya. Karakter negatif positif akan saling berebut memunculkan dirinya. Maka rumahtangga itu hanya seperti telur diujung tanduk. Keseimbangan menentukan nasibnya. Kesalahan umum menganggap rumahtangga menjadikan pelakunya dewasa.
Pada kenyataannya, pelakunya menjadi manja, atau hanya menjadi pelayan "alemane" pasangan. Melayani atau dilayani. Dalam kemenangan patriarki, laki-laki dilayani perempuan. Dalam matriarki lelaki melayani perempuan. Konteks budaya jawa, lelaki diidealkan dilayani. Dalam budaya minang, perempuan dihormati status asasinya.
Praktek poligami menjadikan lelaki berkuasa hak memiliki banyak perempuan. Dalam poliandri, sebaliknya. Dalam era modern, seakan saling menguasai. Atas nama egalitarian, kesamaan kesetaraan, rumahtangga tempat berebut kuasa yang tak pernah berakhir. Bebas gaya mulai dari mana pencari nafkah, pengambil keputusan sampai posisi seks.
Era modern kekinian jadi era rumahtangga ruwet dalam jumlah kasus paling banyak dibanding sebelumnya. Perebutan kuasa itu kini lebih jelas dilihat. Paling mudah adalah angka perceraian yang meningkat jumlahnya. KDRT, keterlantaran, sampai pelampiasan diluar rumahtangga dengan perselingkuhan.
Jadi, jika ada kasus selingkuh, hal itu bukan hanya bukti ruwet. Tapi juga bukti bahwa pelaku mencari kebebasan dari derita. Batas dari kemampuannya berpura-pura bahagia. Rumahtangga bukan arena pertarungan. Bukan tempat pelampiasan nafsu. Bukan tempat eksistensi. Bahwa manusia sekedarnya adalah hewan yang berpikir.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar