Dalam hidup ini terdapat pangkal
dan ujung, seperti kehidupan manusia yang berpangkal pada kelahiran manusia dan
berujung pada kematian. Begitu juga sang surya yang terbit diufuk timur sebagai
pangkalnya dan terbenam diufuk barat sebagai ujungnya. Hidup-mati dan
timur-barat. Inilah kehidupan yang mempunyai awal dan akhir, dilahirkan
kemudian dimatikan lagi. Semua itu adalah kuasa Ilahi sebagai sumber segala
yang ada. Sebagai maha dahsyat yang mencipta segala aneka rupa dan mengambilnya
lagi sesuai kehendaknya yang agung. Dan segala yang ada yang tercipta dengab
beranaka ragam dan rupa sesungguhnya adalah perwujudan dari “aku”, maksudnya
seekor singa pasti akan mengatakan bahwa aku adalah singa, matahari mengatakan
aku adalah matahari, bulan mengatakan aku adalah bulan. Aku-aku itulah yang
disebut aku pribadi. Seperti halnya aku adalah Imdadur Rahman.
Bagaimanakah dengan pangkal dan
ujung dari segala “aku” itu, INNALILLAHI WA INNAILAIHI RIJI’UN; sesungguhnya
kita adalah milik Allah dan padanya kita kembali. Allah adalah pangkal dan ujung
dari segala “aku” yang ada dan Dialah Aku semesta karena Dia yang mencipta
jagad raya ini dengan segala keteraturannya. Apakah aku-aku pribadi yang ada
didunia ini, merasa berkewajiban dengan penuh kesadaran diri untuk mencapai dan
menuju Aku semesta untuk meminta Ridlonya hingga dibukalah pintu ma’rifat dan
kasyaf. Hingga Hilanglah hijab diantara Aku semesta dan aku pribadi dan yang
ada hanyalah aku adalah Aku.
Seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa pada hakikatnya semua yang ada dijagad raya ini adalah perwujudan
dari “aku”. Dan aku masing-masing itu pastilah memiliki pusat “Aku” semesta,
darimana aku masing-masing itu berasal dan kembali. Untuk mencapai hakikat”Aku”
semesta agar terbuka pintu ma’rifat
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan diperlukan tirakat dan
riyadloh bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Semakin mendekati hakikat “Aku”
semesta semakin banyak rintangannya seperti yang dialami oleh para Anbiyaa dan
Auliya.
Pertama yang harus dilakukan para
aku pribadi untuk terbukanya pintu ma’rifat adalah taubat, yakni harus
berpaling dari segala sesuatu kecuali Allah. Maksudnya,jika sebelumnya pernah
berbalik darinya maka sekarang wajib menghadapkan jiwa dan pikiran hanya
kepadaNya. Kedua lakukan dzikir, yakni ingatlah selalu Allah kapanpun dan
dimanapun, ingatlah Allah jika lupa,maksudnya jika engkau selalu berusaha dalam
keadaan melupakan segala sesuatu yang bukan Allah maka saat itulah engkau
mengingatnya.
Dalam kitab Rontal Catur Viphala
warisan dari prabu kertawijaya maharaja majapahit terdapat tingkatan-tingkatan
untuk mencapai hakikat Aku yang mana berjumlah empat tingkatan: Nishpraha, Nirbana, Niskala dan
Nirasraya. Maksud dari Nishpraha adalah keadaan dimana tidak ada lagi sesuatu
yang ingin dicapai manusia. Nirbana adalah seseorang tidak memiliki badan dan
karenanya tidak ada lagi tujuan. Niskala berarti bersatu dengan Dia Yang Hampa,
Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Dalam keadaan itulah
aku menyatu dengan Aku. Selanjutnya adalah Nirasraya, yakni keadaan dimana jiwa
meninggalkan Niskala dan melebur ke Parama Laukika, yakni dimensi tertinggi
yang bebas dari segala bentuk keadaan tak mempunyai ciri-ciri, dan mengatas
namakan Aku.
Apa yang tercantum dalam kitab
rontal catur Viphala merupakan hal yang gampang diuraikan, namun berat untuk
dijalankan. Hanya mereka yang benar-benar bertekad bulat menuju hakikat Aku
yang akan melaksanakannya. Wallahu a’alam.