Berikut adalah kisah romantik yang penulis mencoba tulis sambil menunggu "ngantuk" datang untuk tidur malam. Hanya sekedar cerita yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca dalam menuntut ilmu terutama dalam kaitannya ilmu nahwu shorof. Semoga dapat menghibur para pembaca.
Di suatu pondok pesantren di Jawa Timur, tinggalah seorang santri alim bernama Gus Im, putra dari seorang kyai masyhur. Ia dikenal tenang, cerdas, dan sangat mencintai ilmu, terutama ilmu nahwu.
Mereka pertama kali bertemu dalam musabaqah nahwu antar pondok. Saat itu, Gus Im mengajukan soal dari Bab I’rab, tentang marfu’nya mubtada dan khabarnya. Ning Mareefa menjawab dengan lantang:
“Mubtada dan khabar keduanya marfu’. Seperti dalam kalimat: الْعِلْمُ نُورٌ, ilmu itu cahaya.”
Gus Im tersenyum. Di hatinya terbersit, “Benar, dan engkau adalah cahaya itu, Ning.”
Sejak saat itu, mereka saling mengenal melalui bait-bait nahwu, berbalas pantun dalam bentuk contoh i’rab. Cinta mereka tumbuh, bukan lewat pandangan mata, tapi melalui pemahaman mendalam terhadap kalimat.
Bab Af'al (Fi'il) menjadi bab penting dalam kisah mereka. Gus Im pernah menulis surat yang hanya berisi satu kalimat:
“أَحْبَبْتُكِ حُبًّا صَادِقًا — Aku mencintaimu dengan cinta yang tulus.”
Fi’il أحببتُكِ di-i’rab oleh Ning Mareefa sebagai:
- Fa'il-nya: dhamir mustatir ana (aku)
- Maf'ul bih awalan: ka — kamu
- Maf'ul bih tsaniyan: hubban — cinta
Lalu ia balas dengan tulisan di kertas kecil:
“قَبِلْتُهُ قَبُولًا حَسَنًا — Aku menerimanya dengan penerimaan yang baik.”
Mereka berdua meyakini bahwa cinta, sebagaimana kalimat, butuh tarkib (susunan) yang baik. Bila tidak sesuai posisi, maka makna akan kacau. Maka mereka menjaga cinta mereka agar selalu sesuai dengan mauqi’ yang tepat — seperti fa’il yang tak boleh berpindah ke posisi maf’ul.
Suatu hari, dalam Bab Taqdim dan Ta’khir, Gus Im berkata:
“Cinta itu kadang seperti khabar yang didahulukan dari mubtada. Bukan karena tidak sopan, tapi karena ada makna ta’ajjub yang ingin ditekankan.”
Ning Mareefa menjawab:
“Seperti dalam مَا أَجْمَلَ الحُبَّ فِي طَاعَةِ اللهِ — Betapa indahnya cinta dalam ketaatan kepada Allah.”
Puncaknya adalah ketika Gus Im menghadap Kyai dan mengatakan dengan penuh adab:
“Kyai, izinkan saya menjadikan Ning Ma’rifa sebagai mudhaf, dan saya sebagai mudhaf ilaih, agar kami bisa terus terikat dalam hubungan yang tak terputus.”
Kyai pun tersenyum dan menjawab:
“Jangan lupa, nak… Dalam idhafah, yang satu harus menjadi milik yang lain. Tapi milik yang saling menguatkan, bukan saling melemahkan.”
Cinta Gus Im dan Ning Mareefa tidak meledak-ledak, tapi tersusun rapi seperti kalimat i’rab. Dalam cinta mereka, ada *marfu’*nya semangat, manshubnya harapan, majrurnya kerendahan hati, dan majzumnya kesabaran.
Karena mereka yakin, seperti kata Jurumiyah:
“وَالإِعْرَابُ هُوَ تَغْيِيْرُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ…”“I’rab adalah perubahan akhir kata karena amil yang masuk…”
Dan cinta mereka berubah, menjadi cinta yang berakhir bahagia — karena amil yang bernama ridha Allah telah masuk ke dalam hati mereka.
Wallahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar