Hari itu mereka bertiga: Rubi, Herma dan Kinung hendak Ha ke luar kota. Rencananya mau mengajak keluarga. Namun karena anak-anak sedang ujian, terpaksa mereka berbagi tugas dengan istri dan suami masing-masing. Apalagi mereka akan pergi cukup lama, 3-4 hari, memenuhi undangan salah satu sahabat baik mereka, Mitha, yang mau mantu, menikahkan anak pertamanya.
Sambil menunggu masuk pesawat, mereka duduk- duduk santai di lounge, sambil berbincang dan menyantap makanan kecil. Dari kaca pembatas, sesekali mereka bisa melihat pesawat yang take off maupun landing. Tiba- tiba Herma berkata, “Coba perhatikan, ban pesawat itu begitu kecil. Jumlahnya pun cuma enam. Dua di depan, empat di belakang. Tapi beban pesawat, penumpang dan bagasi yang begitu berat bisa ditahannya. Sungguh hebat ban pesawat itu!”.
“Itu tidak seberapa Ma. Coba perhatikan kalau sedang mendarat. Betapa besar beban dan gesekan yang terjadi. Itu bisa berlipat kali dibanding dalam keadaan statis. Tapi ban itu kuat dan tidak pecah. Padahal ban truk-truk gandeng yang jumlahnya belasan itu kerap kali harus diganti. Hebat memang ban pesawat”, komentar Kinung menimpali.
“Ya, kualitas bannya memang beda Nung. Mungkin harganya juga berlipat-lipat”, Herma menyatakan pendapatnya. “Betul. Juga kualitas aspal landasan beda dengan jalan raya kita yang amat banyak lubangnya di sana-sini. Belum lagi di kala musim hujan”, imbuh Kinung.
“Tapi aku jadi kepikiran ucapanmu tadi, Nung. Ketika pesawat itu mendarat kan bebannya jadi berlipat. Kok ban itu begitu kuatnya ya? Hebat benar kualitasnya”, kata Herma sambil menerawang ke arah pesawat yang sedang hilir mudik. “Ya benar. Hebat”, jawab Kinung.
“Ada banyak faktor penyebab”, kata Rubi yang selama ini diam saja. Pertama, benar seperti kata Herma, kualitas ban pesawat memang istimewa. Kedua, juga benar yang dikatakan Kinung, kualitas landas pacu jauh lebih bagus ketimbang jalan raya. Ketiga, keahlian dari si pilot itu sendiri ketika mendaratkan pesawatnya. Begitu terlatih, sehingga gesekan yang terjadi paling minimal. Akibatnya berat pesawat tidak serta merta terbebankan langsung ke bawah, namun diimbangi oleh putaran ban yang bundar. Dengan kata lain, berat yang ada tersebar, terbagi oleh putaran roda. Faktor keempat, ya bentuk roda yang bundar itu, sehingga bisa berputar sempurna, membagi beban secara sempurna dan mentetralisirnya.”
“Hebat. Betul analisamu itu Rub”, kata Kinung. “Jadi, intinya terbagi dan tersebar?!”, kata Herma setengah bertanya.
“Ya”, jawab Rubi sambil sedikit menganggukkan kepalanya pelan-pelan.
“Terus..?”, kata Herma memancing Rubi seperti biasa- nya, “Apa maknanya?”
“Maknanya, hahaha.... Kamu ini senangnya mengkait- kaitkan”, jawab Rubi. “Ayo ceritakan donk, apa yang tiba-tiba ada di kepalamu Rub. Aku kan hafal benar dengan kehebatanmu itu”, kata Herma setengah merajuk manja.
“Ayo Rub, mumpung masih punya waktu nih. Kamu tidak mungkin menghindar dari tebakan Herma”, desak Kinung.
“Terlintas di benakku kaitan antara ban pesawat dan kepemimpinan”, kata Rubi dengan sungguh-sungguh. “Wah-wah-wah, sampai sejauh itu Rub?”, komentar Kinung.
“Ya, beban seorang pemimpin itu begitu berat, seperti ban atau roda pesawat.
Praktis semua beban pada akhirnya seolah ditumpukan kepadanya. Apalagi ketika sedang ada masalah berat, ibarat seperti pesawat mau mendarat. Kalau ia tidak mampu, ya seperti ban pesawat yang pecah meletus. Kalau ia pandai dan mampu, ya akan mulus-mulus saja. Yang dipimpin juga akan merasa nyaman, senyaman kala kita mendarat dengan mulus karena pilotnya begitu handal”, papar Rubi lancar seperti biasanya.
“Cek-cek-cek, Rubi, Rubi, itulah sebabnya aku begitu kagum, cinta, hormat, sayang, dan sebagainya, dan se- bagainya, kepadamu. Jauh melewati rasa cinta seorang wanita kepada laki-laki”, puji Herma dengan mata berbinar- binar. “Hahaha, Rub, seandainya kamu dulu menyatakan cinta padanya, aku yakin akan diterima dengan tangan terbuka”, canda Kinung sambil tertawa. “Bahkan jika dilakukan sekarang pun, tetap akan diterima dengan suka cita”, sambung Kinung dengan tertawa nakal.
“Hussh, mungkin bisa begitu. Tapi jangan terjadi ya Rub. Persahabatan kita jauh melebihi itu semua”, Herma berkata sungguh-sungguh.
Dengan tersenyum Rubi meneruskan penjelasannya, “Pemimpin yang baik bisa belajar dari ban pesawat itu. Ia harus bisa menahan beban dan membaginya. Beban atau tanggung jawab seberat apa pun akan terasa ringan bila dibagi. Dibagi dengan memberikan delegasi wewenang dan tanggung jawab yang jelas, serta pencapaian kinerja yang baik. Ibaratnya seperti beban pesawat yang terbagi oleh putaran ban yang sempurna dan laju pesawat itu sendiri.
Bagaimana membaginya agar adil dan merata? Ya seperti ban yang bulat sempurna. Adil! Namun kenapa bisa sempurna? Karena roda atau bannya berputar. Nah putaran itu ibarat kinerja. Meski bundar, kalau statis atau tidak berkinerja, ya berat dan tetap bisa meletus. Terus, seperti kata Kinung, jalannya harus baik. Ibaratnya, konstitusi kalau bicara negara atau AD ART kalau bicara organisasi, harus baik pula. Dan seperti Herma, kualitas ban, alias kualitas sang pemimpin itu sendiri, amat sangat menentukan!”, pungkas Rubi menutup uraiannya. Mereka berdua pun bertepuk tangan, sampai beberapa orang menoleh kepadanya dengan heran. Untungnya berbareng dengan itu ada pengumuman untuk segera naik ke pesawat.
"Buku Tuhan Sudah Pindah Alamat Karya Busi S.Tanuwibowo"