Berikut ini cerita cinta fiktif antara Gus Azmi dan Ning Laila yang dibumbui dengan bahasa-bahasa ilmu shorof (ilmu perubahan kata dalam bahasa Arab). Semoga menghibur dan menginspirasi para pembaca.
Di suatu pondok pesantren di ujung Jawa Timur, hiduplah seorang pemuda alim bernama Gus Azmi. Ia tak hanya mahir membaca kitab kuning, tapi juga sangat fasih dalam ilmu shorof. Dalam setiap pengajian, ia selalu mengawali dengan menyebutkan fi’il tsulātsī mujarrad dan menutup dengan shighat mubālaghah.
Suatu hari, datanglah Ning Laila, putri dari pengasuh pesantren di solo, untuk mondok dan memperdalam ilmu nahwu-shorof. Ketika pertama kali melihatnya, Gus Azmi terdiam, seperti fi’il lāzim yang tak bisa menerima maf’ūl bih. Hatinya bergetar, mengalami perubahan seperti masdar yang sedang mencari wazan-nya.
"Wahai Ning Laila," gumam Gus Azmi dalam hati, "engkau ibarat ism tafdhīl dari segala wanita, lebih lembut, lebih teduh, dan lebih menawan."
Ning Laila pun ternyata menyimpan rasa. Baginya, Gus Azmi adalah fi’il muta’addi yang menyentuh hatinya tanpa ia sadari. Setiap kali mendengar Gus Azmi menjelaskan tashrīf dari kata 'alima–ya’lamu–‘ilman, hatinya justru belajar ilmu yang lebih dalam: cinta.
Suatu malam, saat kajian selesai, Gus Azmi memberanikan diri.
“Ning Laila,” katanya dengan suara setenang fi’il mudhāri’, “jika cinta ini adalah masdar, maka izinkan aku mencari wazan yang tepat untuk mengungkapkannya padamu.”
Ning Laila tersenyum, “Jika katamu benar-benar fa’ala–yaf’ulu, maka buktikanlah dengan shighat amr yang jelas, bukan sekadar fi’il mudhāri' yang belum pasti.”
Gus Azmi tersenyum penuh arti, “InsyaAllah, aku akan datang bersama ayahku. Semoga kita menjadi pasangan yang muwāfaqah, sepadan dalam ilmu dan cinta, seperti fa’ala–yaf’ulu–ufu’l yang tak terpisahkan.”
Dan sejak saat itu, cinta mereka bukan sekadar rasa, tapi juga menjadi pelajaran bahwa cinta—seperti ilmu shorof—membutuhkan pemahaman, kesabaran, dan perubahan ke arah yang lebih baik.
Sementara itu setelah Gus Azmi menikah dengan Ning Laila, suasana pondok semakin murattab. Ilmu makin berkah, cinta pun makin terasa masdar-nya. Tapi di balik itu, sang adik, Gus Im, diam-diam sedang mengalami taṣrīf isnād yang unik di hatinya.
Di pojok pondok putri, ada seorang santriwati baru keturunan Arab bernama Ning Kareema. Wajahnya teduh seperti fi’il salīm, akhlaknya mulia seperti ism fa’il dari kata karuma–yakrumu–karīmun.
Gus Im, yang terkenal jago tashrīf lengkap dari fi’il māḍī sampai amr ghā’ib, mendapati hatinya berubah setiap kali mendengar nama Ma’rifa.
“Kenapa hatiku ini seperti fi’il naqis yang belum sempurna tanpa dhomirnya?” gumam Gus Im saat sedang memegang kitab Amtsilat Tashrīfiyyah.
Sahabatnya, Gus Rozi, menimpali sambil tersenyum, “Mungkin kamu sedang mengalami i’lal qalbi, Gus. Hatimu berpindah dari asli ke bentuk mu’allaq.”
Suatu sore, ketika Gus Im sedang mengajar tashrīf untuk santri kelas ‘Aliyah, terdengar suara Ning Kareema mengoreksi tasrīfnya dengan lembut tapi tegas.
“Maaf, Gus, yang benar bukan naqasa–yanqisu, tapi naqasa–yanqusu, itu termasuk tsulātsī mujarrad dengan wazan fa’ala–yaf’ulu,” ucapnya sambil tersenyum sopan.
Gus Im terdiam. Di sanalah dia sadar, Kareema bukan hanya nama, tapi juga maṣdar ma’rifah yang sebenarnya: pemahaman yang dalam.
Sejak itu, Gus Im mulai menyusun rencana. Ia tak ingin cintanya menjadi fi’il majhūl. Maka ia pun meminta pendapat kakaknya yaitu Gus Azmi dan diarahkan untuk langsung sowan ke abahnya untuk mengutarakan isi hatinya agar abahnya mengetahui dan berkata:
“Abah, izinkan saya melakukan isnād yang sah secara syar’i. Saya ingin meminang Ning Kareema. InsyaAllah, dia adalah mufrad muannats yang saya dambakan dalam jumlah ismiyyah hidup saya.”
Dan ketika khitbah itu datang, Ning Kareema hanya menjawab singkat:
“Jika benar niatmu ṣharfiyyah, maka mari kita lanjutkan dalam fi’il madī yang penuh keberkahan.”
Dan begitulah, cinta Gus Im dan Ning Kareema pun tataṣarraf—berubah, berkembang, dan terjalin indah dalam bingkai ilmu, adab, dan mahabbah yang sesuai dengan wazan cinta para santri.
Sekian!!