Minggu, 27 April 2025

Kalimat-Kalimat Cinta Ilmu Sharaf

Berikut kalimat-kalimat cinta dalam ilmu sharaf. Semoga bermanfaat


"Wahai bidadari yang menawan,"

"Aku datang kepadamu membawa niat yang telah berubah dari fi’il menjadi 'azm yang mantap. Seperti dalam ilmu shorof, hatiku telah melalui berbagai tashrif; dari māḍī kenangan, muḍāri‘ harapan, hingga amr tekad untuk membangun masa depan bersamamu."


"Dalam setiap wazan perubahan, namamu selalu menjadi fa‘ala, awal dari segala gerak rasa. Aku, hanyalah seorang fā‘il yang berusaha, berharap engkau menjadi maf‘ūl bih dalam doa-doaku, menjadi tujuan dan pelengkap bagi amal hidupku."

"Cintaku padamu bukan sekadar masdar kosong tanpa makna, tapi ṣighat mubālaghah yang penuh ketulusan dan pengorbanan. Dalam semua bāb tashrif kehidupanku, hanya engkau satu-satunya yang tetap konstan, tanpa perubahan."

"Maka izinkan aku, yang tak sempurna ini, mengajukan satu fi‘il amr yang penuh harap: Terimalah aku menjadi teman hidupmu, menjadi suamimu, menjadi imam dalam safar cinta menuju ridha Allah."

"Sebagaimana fi’il membutuhkan maf’ul untuk sempurna maknanya, aku membutuhkanmu untuk menyempurnakan hidup dan ibadahku."

"Bersediakah engkau?"


  1. "Engkau adalah mahbūbah dalam hatiku, sebagaimana ism maf'ūl yang senantiasa menerima cinta dari fi'il-nya."
    (mahbūbah: yang dicintai – bentuk isim maf’ul dari ḥabba)

  2. "Jika aku adalah fā‘il, maka mencintaimu adalah fi‘l yang tak pernah berhenti kuserap dalam wazan hatiku."

  3. "Hatiku terus yataḥawwal—berubah—setiap kali engkau hadir, sebagaimana akar kata berubah dalam timbangan wazan."

  4. "Cintaku padamu bukan hanya muḍāri‘, tapi telah menjadi māḍī yang kukenang dan amr yang kuteguhkan."

  5. "Engkau adalah ism fā‘il dari kata ‘asyiq—seorang pecinta sejati yang tak pernah lelah memberi rasa."

  6. "Seperti kata kerja yang terus yatakarrar, rinduku padamu pun tak pernah berhenti berulang."

  7. "Dalam kamus hidupku, engkaulah satu-satunya ṣīghat mubālaghah dari kata cinta."

  8. "Kalau aku adalah akar kata, maka engkau adalah semua bentuk turunannya—melengkapi makna hidupku."

  9. "Cinta ini bukan sekadar masdar, tapi telah menjelma menjadi amal nyata yang tak terbantahkan."

  10. "Sebagaimana fi'il butuh maf'ul bih untuk sempurna, aku butuh hadirmu untuk menyempurnakan hidupku."


Semoga bermanfaat!!

Sabtu, 26 April 2025

Cinta dalam Wazannya Gus Azmi dan Ning Laila

Berikut ini cerita cinta fiktif antara Gus Azmi dan Ning Laila yang dibumbui dengan bahasa-bahasa ilmu shorof (ilmu perubahan kata dalam bahasa Arab).  Semoga menghibur dan menginspirasi para pembaca. 


Di suatu pondok pesantren di ujung Jawa Timur, hiduplah seorang pemuda alim bernama Gus Azmi. Ia tak hanya mahir membaca kitab kuning, tapi juga sangat fasih dalam ilmu shorof. Dalam setiap pengajian, ia selalu mengawali dengan menyebutkan fi’il tsulātsī mujarrad dan menutup dengan shighat mubālaghah.


Suatu hari, datanglah Ning Laila, putri dari pengasuh pesantren di solo, untuk mondok dan memperdalam ilmu nahwu-shorof. Ketika pertama kali melihatnya, Gus Azmi terdiam, seperti fi’il lāzim yang tak bisa menerima maf’ūl bih. Hatinya bergetar, mengalami perubahan seperti masdar yang sedang mencari wazan-nya.

"Wahai Ning Laila," gumam Gus Azmi dalam hati, "engkau ibarat ism tafdhīl dari segala wanita, lebih lembut, lebih teduh, dan lebih menawan."

Ning Laila pun ternyata menyimpan rasa. Baginya, Gus Azmi adalah fi’il muta’addi yang menyentuh hatinya tanpa ia sadari. Setiap kali mendengar Gus Azmi menjelaskan tashrīf dari kata 'alima–ya’lamu–‘ilman, hatinya justru belajar ilmu yang lebih dalam: cinta.

Suatu malam, saat kajian selesai, Gus Azmi memberanikan diri.

“Ning Laila,” katanya dengan suara setenang fi’il mudhāri’, “jika cinta ini adalah masdar, maka izinkan aku mencari wazan yang tepat untuk mengungkapkannya padamu.”

Ning Laila tersenyum, “Jika katamu benar-benar fa’ala–yaf’ulu, maka buktikanlah dengan shighat amr yang jelas, bukan sekadar fi’il mudhāri' yang belum pasti.”

Gus Azmi tersenyum penuh arti, “InsyaAllah, aku akan datang bersama ayahku. Semoga kita menjadi pasangan yang muwāfaqah, sepadan dalam ilmu dan cinta, seperti fa’ala–yaf’ulu–ufu’l yang tak terpisahkan.”

Dan sejak saat itu, cinta mereka bukan sekadar rasa, tapi juga menjadi pelajaran bahwa cinta—seperti ilmu shorof—membutuhkan pemahaman, kesabaran, dan perubahan ke arah yang lebih baik.


Sementara itu setelah Gus Azmi menikah dengan Ning Laila, suasana pondok semakin murattab. Ilmu makin berkah, cinta pun makin terasa masdar-nya. Tapi di balik itu, sang adik, Gus Im, diam-diam sedang mengalami taṣrīf isnād yang unik di hatinya.

Di pojok pondok putri, ada seorang santriwati baru keturunan Arab bernama Ning Kareema. Wajahnya teduh seperti fi’il salīm, akhlaknya mulia seperti ism fa’il dari kata karuma–yakrumu–karīmun.

Gus Im, yang terkenal jago tashrīf lengkap dari fi’il māḍī sampai amr ghā’ib, mendapati hatinya berubah setiap kali mendengar nama Ma’rifa.

“Kenapa hatiku ini seperti fi’il naqis yang belum sempurna tanpa dhomirnya?” gumam Gus Im saat sedang memegang kitab Amtsilat Tashrīfiyyah.

Sahabatnya, Gus Rozi, menimpali sambil tersenyum, “Mungkin kamu sedang mengalami i’lal qalbi, Gus. Hatimu berpindah dari asli ke bentuk mu’allaq.”

Suatu sore, ketika Gus Im sedang mengajar tashrīf untuk santri kelas ‘Aliyah, terdengar suara Ning Kareema mengoreksi tasrīfnya dengan lembut tapi tegas.

“Maaf, Gus, yang benar bukan naqasa–yanqisu, tapi naqasa–yanqusu, itu termasuk tsulātsī mujarrad dengan wazan fa’ala–yaf’ulu,” ucapnya sambil tersenyum sopan.

Gus Im terdiam. Di sanalah dia sadar, Kareema bukan hanya nama, tapi juga maṣdar ma’rifah yang sebenarnya: pemahaman yang dalam.

Sejak itu, Gus Im mulai menyusun rencana. Ia tak ingin cintanya menjadi fi’il majhūl. Maka ia pun meminta pendapat kakaknya yaitu Gus Azmi dan diarahkan untuk langsung sowan ke abahnya untuk mengutarakan isi hatinya agar abahnya mengetahui dan berkata:

“Abah, izinkan saya melakukan isnād yang sah secara syar’i. Saya ingin meminang Ning Kareema. InsyaAllah, dia adalah mufrad muannats yang saya dambakan dalam jumlah ismiyyah hidup saya.”

Dan ketika khitbah itu datang, Ning Kareema hanya menjawab singkat:

“Jika benar niatmu ṣharfiyyah, maka mari kita lanjutkan dalam fi’il madī yang penuh keberkahan.”


Dan begitulah, cinta Gus Im dan Ning Kareema pun tataṣarraf—berubah, berkembang, dan terjalin indah dalam bingkai ilmu, adab, dan mahabbah yang sesuai dengan wazan cinta para santri. 


Sekian!!

Jumat, 25 April 2025

Kisah Romantik I'rab Cinta Kitab Jurumiyah

Berikut adalah kisah romantik yang penulis mencoba tulis sambil menunggu "ngantuk" datang untuk tidur malam. Hanya sekedar cerita yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca dalam menuntut ilmu terutama dalam kaitannya ilmu nahwu shorof. Semoga dapat menghibur para pembaca.


Di suatu pondok pesantren di Jawa Timur, tinggalah seorang santri alim bernama Gus Im, putra dari seorang kyai masyhur. Ia dikenal tenang, cerdas, dan sangat mencintai ilmu, terutama ilmu nahwu. 

Sedangkan di pondok sebelah, ada seorang santriwati bernama Ning Mareefa, putri dari Kyai pengasuh pesantren tahfidz. Kecantikannya bukan hanya terletak pada wajah, tapi pada akhlaknya dan cintanya pada ilmu.

Mereka pertama kali bertemu dalam musabaqah nahwu antar pondok. Saat itu, Gus Im mengajukan soal dari Bab I’rab, tentang marfu’nya mubtada dan khabarnya. Ning Mareefa menjawab dengan lantang:

“Mubtada dan khabar keduanya marfu’. Seperti dalam kalimat: الْعِلْمُ نُورٌ, ilmu itu cahaya.”

Gus Im tersenyum. Di hatinya terbersit, “Benar, dan engkau adalah cahaya itu, Ning.”

Sejak saat itu, mereka saling mengenal melalui bait-bait nahwu, berbalas pantun dalam bentuk contoh i’rab. Cinta mereka tumbuh, bukan lewat pandangan mata, tapi melalui pemahaman mendalam terhadap kalimat.

Bab Af'al (Fi'il) menjadi bab penting dalam kisah mereka. Gus Im pernah menulis surat yang hanya berisi satu kalimat:

أَحْبَبْتُكِ حُبًّا صَادِقًا — Aku mencintaimu dengan cinta yang tulus.”

Fi’il أحببتُكِ di-i’rab oleh Ning Mareefa sebagai:

  • Fa'il-nya: dhamir mustatir ana (aku)
  • Maf'ul bih awalan: ka — kamu
  • Maf'ul bih tsaniyan: hubban — cinta

Lalu ia balas dengan tulisan di kertas kecil:

قَبِلْتُهُ قَبُولًا حَسَنًا — Aku menerimanya dengan penerimaan yang baik.”

Mereka berdua meyakini bahwa cinta, sebagaimana kalimat, butuh tarkib (susunan) yang baik. Bila tidak sesuai posisi, maka makna akan kacau. Maka mereka menjaga cinta mereka agar selalu sesuai dengan mauqi’ yang tepat — seperti fa’il yang tak boleh berpindah ke posisi maf’ul.

Suatu hari, dalam Bab Taqdim dan Ta’khir, Gus Im berkata:

“Cinta itu kadang seperti khabar yang didahulukan dari mubtada. Bukan karena tidak sopan, tapi karena ada makna ta’ajjub yang ingin ditekankan.”

Ning Mareefa menjawab:

“Seperti dalam مَا أَجْمَلَ الحُبَّ فِي طَاعَةِ اللهِ — Betapa indahnya cinta dalam ketaatan kepada Allah.”

Puncaknya adalah ketika Gus Im menghadap Kyai dan mengatakan dengan penuh adab:

“Kyai, izinkan saya menjadikan Ning Ma’rifa sebagai mudhaf, dan saya sebagai mudhaf ilaih, agar kami bisa terus terikat dalam hubungan yang tak terputus.”

Kyai pun tersenyum dan menjawab:

“Jangan lupa, nak… Dalam idhafah, yang satu harus menjadi milik yang lain. Tapi milik yang saling menguatkan, bukan saling melemahkan.”


Cinta Gus Im dan Ning Mareefa tidak meledak-ledak, tapi tersusun rapi seperti kalimat i’rab. Dalam cinta mereka, ada *marfu’*nya semangat, manshubnya harapan, majrurnya kerendahan hati, dan majzumnya kesabaran.

Karena mereka yakin, seperti kata Jurumiyah:

“وَالإِعْرَابُ هُوَ تَغْيِيْرُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ…”
“I’rab adalah perubahan akhir kata karena amil yang masuk…”

Dan cinta mereka berubah, menjadi cinta yang berakhir bahagia — karena amil yang bernama ridha Allah telah masuk ke dalam hati mereka.


Wallahu A'lam

Filosofi Ilmu Nahwu dan Kitab Alfiyah

Mari kita mencari makna filosofis dari ilmu nahwu dan kitqb alfiyah yang harus diketahui oleh para pengaji kitab sakral tersebut. 

Ribuan santri telah berhasil menghafalkan kitab ini dan itu merupakan pencapaian luar biasa oleh karena itu sangat penting untuk memahami makna-makna filosofis ilmu nahwu agar dapat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan didunia ini. 

Berikut adalah beberapa makna filosofis yang kami temukan tentang ilmu nahwu :


1. Ketertiban dalam Bahasa, Ketertiban dalam Hidup

Nahwu adalah ilmu yang mengatur tata letak kata dalam kalimat. Dalam filosofi kehidupan, ini mengajarkan bahwa setiap hal memiliki tempatnya. Jika kata-kata tidak tertata, makna akan rusak; begitu juga jika hidup tidak tertata, maka kekacauan akan terjadi.

Filosofi:

"Tertib dalam kata adalah cerminan tertib dalam jiwa."


2. Tujuan Ilmu: Memahami Makna dengan Benar

Nahwu bertujuan untuk memahami makna kalimat secara benar dan terhindar dari kesalahan pemahaman. Ini menunjukkan pentingnya kerendahan hati dalam menuntut ilmu, karena hanya dengan ilmu kita bisa memahami sesuatu secara tepat.

Filosofi:

"Bahasa adalah jembatan makna. Nahwu adalah penopangnya."


3. Perbedaan I'rab Mencerminkan Keberagaman Fungsi

Dalam nahwu, satu kata bisa berubah i’rab (rafa’, nashab, jar, jazm) tergantung fungsinya. Ini mengajarkan bahwa satu hal bisa punya banyak peran tergantung situasi. Seorang manusia juga bisa berperan berbeda di berbagai keadaan, dan itu bukan ketidakkonsistenan, melainkan keluwesan.

Filosofi:

"I’rab adalah seni menyesuaikan diri—tidak berubah hakikat, hanya berubah peran."


4. Disiplin Ilmu yang Tegas namun Indah

Kitab Alfiyah mengemas ilmu nahwu dalam bentuk syair, yang menunjukkan bahwa aturan tidak harus kaku, bisa indah dan harmonis. Ini mencerminkan keseimbangan antara logika dan estetika.

Filosofi:

"Ilmu itu tegas, tapi bisa disampaikan dengan keindahan."


5. Kitab Alfiyah Sebagai Warisan Intelektual

Seribu bait Alfiyah bukan hanya hafalan, tapi representasi dari perjuangan intelektual ulama dalam menjaga ilmu bahasa Arab. Mempelajarinya adalah bentuk menghargai tradisi keilmuan dan melatih ketekunan serta kedalaman berpikir.

Filosofi:

"Menghafal Alfiyah bukan sekadar mengingat, tapi mewarisi semangat mencari makna."


Wallahu A'lam.

Kamis, 24 April 2025

Nasehat: Cintailah Nabi Muhammad dengan Membaca Sholawat Setiap Hari

Nasehat: Cintailah Nabi Muhammad dengan Membaca Sholawat Setiap Hari

Wahai saudaraku, dalam kehidupan yang penuh ujian ini, jangan pernah lupa kepada sosok yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Beliaulah yang membawa cahaya Islam ke dalam hati kita, yang berjuang tanpa lelah agar kita mengenal Allah dan hidup dalam petunjuk-Nya.


Jika engkau mengaku mencintai Nabi, maka buktikanlah cintamu dengan memperbanyak membaca sholawat kepadanya setiap hari. Sholawat bukan hanya bentuk cinta, tapi juga kunci keberkahan hidup. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang bersholawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersholawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim)

Bayangkan, hanya dengan satu sholawat, Allah membalasnya dengan sepuluh rahmat! Maka jangan biarkan hari-harimu kosong tanpa menyebut nama Nabi yang begitu besar jasanya untuk umat ini.

Mulailah hari-harimu dengan sholawat, sisipkan di tengah aktivitasmu, dan tutuplah malam dengan sholawat. Dengan begitu, hatimu akan selalu terhubung dengan Rasulullah, dan cinta itu akan tumbuh kuat dan mendalam.

Ya Allah, limpahkanlah sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya. Aamiin.

Rabu, 23 April 2025

Sejarah Berdirinya Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah


Ditengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai spiritual, hadirlah sebuah cahaya penyejuk jiwa di kawasan Jalan Sadang, Cilacap Utara. Cahaya itu bernama Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah, sebuah wadah yang didirikan oleh sosok perempuan penuh ketulusan dan semangat dakwah, Ning Ma'rifatus Sangadah.

Dengan latar belakang keprihatinan terhadap menurunnya minat generasi muda terhadap kegiatan keagamaan, khususnya sholawat, Ning Ma'rifatus Sangadah tergerak untuk membangun sebuah majlis yang mampu menjadi tempat berkumpul, berdzikir, dan mempererat tali silaturahmi melalui lantunan pujian kepada Rasulullah SAW.

Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah tidak sekadar menjadi tempat bersholawat, namun juga menjadi ruang bagi anak-anak muda untuk belajar mencintai Nabi Muhammad SAW, memahami ajaran Islam yang penuh kasih, dan menemukan ketenangan dalam kebersamaan. Dengan gaya pendekatan yang lembut, hangat, dan penuh kasih, Ning Ma’rifatus Sangadah berhasil mengajak banyak pemuda dan pemudi untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan sholawat yang rutin dilaksanakan.

Kini, Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah menjadi oase spiritual yang dinanti-nanti oleh masyarakat, terutama generasi muda di sekitar Cilacap Utara. Majlis ini terus tumbuh dan berkembang, menjadi simbol semangat kebangkitan ruhani dan cinta terhadap Rasulullah SAW di tengah zaman yang serba cepat.

Tak hanya mendirikan dan membina, Ning Ma’rifatus Sangadah juga terus berupaya memberikan berbagai fasilitas demi kemajuan Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah. Mulai dari penyediaan perlengkapan hadroh, tempat yang nyaman untuk majlis, hingga pelatihan bagi anggota muda yang ingin lebih mendalami seni sholawat dan dakwah, semuanya ia upayakan dengan penuh kesungguhan.

Dalam perjuangannya, Ning Ma’rifatus tidak berjalan sendiri. Ia mendapat dukungan penuh dari Abahnya tercinta, sosok yang menjadi pilar kekuatan dan semangatnya. Dengan bimbingan dan restu dari Abahnya, setiap langkah pengembangan majlis menjadi lebih kuat dan terarah.

Tujuan mulia dari semua ini tak lain adalah agar generasi muda memiliki jalan menuju kebahagiaan sejati—yaitu kebahagiaan melalui cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan bersholawat, hati menjadi tenang, jiwa menjadi damai, dan kehidupan menjadi lebih bermakna. Melalui Majlis Ta'lim dan Sholawat Sabilussa'adah, Ning Ma’rifatus Sangadah ingin membuktikan bahwa sholawat bukan sekadar lantunan lirik, tetapi jalan menuju kebaikan, persaudaraan, dan keberkahan dunia akhirat.

Bacaan Mad Asli / Mad Thobi'I

Pengertian


Mad
secara bahasa artinya memanjangkan.
Mad Asli (disebut juga Mad Thobi’i) adalah bacaan mad yang asal atau sifatnya alami, bukan karena sebab hamzah atau sukun.

Syarat Mad Asli:

Huruf mad adalah ا - و - ي
(alif, wau, ya’)

Sebelum huruf mad ada harakat yang sesuai:

Sebelum alif (ا): harus ada fathah
(contoh: قَالَ)

Sebelum wau (و): harus ada dhammah
(contoh: يَقُولُ)

Sebelum ya (ي): harus ada kasrah
(contoh: قِيلَ)

Tidak diikuti oleh hamzah atau sukun

Cara Membaca:

Dipanjangkan 2 harakat (satu alif) atau dua ketukan.

Contoh Bacaan:

قَالَ → qāla

يَقُولُ → yaqūlu

قِيلَ → qīla


Catatan dari Kitab Tuhfatul Athfal:

Dalam bait pertamanya disebut:
إن مدا أصليا وهو ما لا سبب له
Artinya: Mad Asli adalah mad yang tidak memiliki sebab (tidak karena hamzah atau sukun).

Selasa, 22 April 2025

Kisah Masyitah Tukang Sisir Putri Firaun Yang Mengharukan


Masyitoh (atau juga dikenal sebagai Masyitah) adalah seorang wanita salehah yang bekerja sebagai tukang sisir putri Firaun, raja Mesir yang terkenal kejam dan mengaku sebagai tuhan. Masyitoh dikenal sebagai seorang mukminah sejati yang menyembunyikan keimanannya kepada Allah SWT karena berada di lingkungan istana Firaun yang sangat anti terhadap tauhid.

Latar Belakang Cerita

Pada masa itu, Firaun menguasai Mesir dan mengklaim dirinya sebagai tuhan. Ia sangat kejam dan membunuh siapa pun yang menyembah Tuhan selain dirinya. Di tengah kekejaman itu, Masyitoh tetap teguh dalam iman kepada Allah SWT, meskipun secara lahiriah harus hidup dan bekerja di lingkungan yang penuh kekufuran.

Awal Terungkapnya Keimanan Masyitoh

Suatu hari, saat Masyitoh sedang menyisir rambut putri Firaun, sisir yang ia pegang terjatuh ke tanah. Saat mengambilnya, ia secara tidak sengaja mengucapkan:"

Bismillah" (Dengan nama Allah).

Putri Firaun yang mendengar itu terkejut dan bertanya:

“Apakah engkau menyebut nama ayahku?”


Masyitoh dengan jujur menjawab:

“Tidak. Aku menyebut nama Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, serta Tuhan ayahmu.”

Mendengar itu, sang putri marah dan melaporkan Masyitoh kepada Firaun. Maka Masyitoh pun dipanggil menghadap.

Siksaan dari Firaun

Firaun murka saat mendengar pengakuan Masyitoh bahwa ia menyembah Allah. Ia memerintahkan agar Masyitoh dihukum dengan cara disiksa hingga murtad dari agamanya.

Namun, Masyitoh tetap tegar dalam imannya. Ia bahkan mengakui keimanannya di hadapan Firaun tanpa takut. Karena itu, Firaun memutuskan untuk memberikan hukuman yang sangat kejam.

Ujian Keimanan: Dilempar ke Dalam Kuali Air Mendidih

Firaun memerintahkan agar disiapkan sebuah kuali besar berisi air mendidih. Masyitoh memiliki suami dan anak-anak, dan Firaun mengancam akan membunuh mereka satu per satu jika Masyitoh tidak mau meninggalkan imannya kepada Allah.

Satu per satu anak Masyitoh dilempar ke dalam kuali panas itu. Bayangkan, betapa beratnya ujian yang ia hadapi. Namun, Masyitoh tetap tidak bergeming.

Hingga akhirnya, bayi terakhirnya yang masih menyusu akan dilempar ke dalam kuali. Hati Masyitoh pun mulai goyah. Tapi bayi itu berbicara dengan izin Allah dan berkata:

“Wahai ibuku, tetaplah teguh. Sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.”

Dengan kalimat itu, Masyitoh kembali teguh dan ikhlas melihat anak terakhirnya juga syahid. Akhirnya, ia pun ikut dilempar ke dalam kuali, dan wafat dalam keadaan husnul khatimah, sebagai syahidah.

Kisah dalam Hadis Nabi

Kisah ini diceritakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadits shahih. Dalam HR. Ahmad dan al-Hakim, Rasulullah bersabda bahwa saat beliau melakukan Isra’ Mi’raj, beliau mencium harum wangi dari tanah, lalu bertanya:

“Wangi apakah ini, wahai Jibril?”

Dan Jibril menjawab:

“Itu adalah bau harum dari tukang sisir anak perempuan Firaun dan anak-anaknya.”


Pelajaran dari Kisah Masyitoh

Keimanan sejati bukan hanya diucapkan, tapi diuji dengan pengorbanan dan keteguhan hati.

Wanita bisa menjadi simbol keteguhan iman, meskipun menghadapi siksaan dan kematian.

Ketaatan kepada Allah lebih utama dari keselamatan duniawi.

Mukjizat bayi yang berbicara menjadi tanda kekuasaan Allah dalam menguatkan hamba-Nya.

Senin, 21 April 2025

Perbanyaklah Baca Sholawat

Berikut ini adalah keutamaan membaca shalawat riwayat Imam at-Thabarani dari sahabat Abu Thalhah RA yang dikutip oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya:


Artinya: Sahabat Abu Thalhah RA meriwayatkan: Suatu hari aku menemui Rasulullah SAW. Wajahnya begitu ceria. ‘Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihat kau seperti hari ini yang sangat senang dan tampak sangat gembira,’ tanyaku. ‘Bagaimana aku tidak gembira? Jibril AS baru saja menemuiku. Ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah SAW, siapa saja di antara umatmu yang bershalawat kepadamu sekali, niscaya itu dicatat sebagai sepuluh kebaikan, sepuluh catatan keburukannya dihapus, dan derajatnya diangkat sepuluh tingkat, malaikat yang mendengar shalawatnya juga mendoakannya seperti shalawat yang dibaca,’ pada lafal lain: ‘Semoga Allah membalasnya seperti kebaikan shalawat yang dibaca,’ jawab Rasulullah SAW. HR At-Thabarani. (Sayyid Bakri Ad-Dimyathi: tanpa tahun: 117-118).


Hadist nabi berikut ini menganjurkan untuk memperbanyak sholawat pada hari jum'at.

قال صلى الله عليه وسلم : أكثروا عليَّ من الصَّلاة يومَ الجمعةِ ؛ فإنَّ صلاةَ أمّتي تُعرضُ عليّ في كلّ يومِ جمعةٍ ، فمن كان أكثرهم عليّ صلاةً كان أقربهم منّي منزلةً. (رواه البيهقي)


Artinya: “Rasulullah bersabda: Perbanyaklah kalian untuk bershalawat kepadaku di hari Jumat. Karena sesungguhnya shalawatnya umatku itu disetorkan kepadaku setiap hari Jumat. Barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, maka dia akan mendapatkan kedudukan yang paling dekat denganku,” (HR Imam Baihaqi).